Harapan yang Rapuh
Malam itu, tepat ketika suara adzan dikumandangkan, salah satu temam ngajiku, kak Dinda dengan wajah penuh pertanyaan menghampiriku. Ia menanyakan suatu hal yang bahkan aku belum seratus persen yakin terhadap jawabanku sendiri, “Aisyah, besok kamu udah mau Ujian Nasional kan, kira-kira kamu mau lanjut di mana SMP-nya?” ujar kak Dinda di malam itu.
“Em…entahlah kak Din. Saran ortuku kemaren, aku disuruh lanjut sekolah di Sumenep.”
“Syah, aku besok mau mondok di Surabaya. Di pondok al-Hakim, di sana enak loh!” Ucap kak Dinda. Lalu, meneruskan pembicaraannya setelah melihat ke atas, “Di sana ada kipas, karpet tebal dan makananya pun ditanggung pondok sendiri. Jadi, kita tidak usah repot-repot masak.”
Mendengar ucapan kak Dinda itu, hatiku merasa tertarik, “Beneran kak? Kayaknya aku kepingin juga kak, mondok di situ” spontan kalimat itu muncul dari mulutku. Entah kenapa? Selain memang kalau di rumah aku tidak pernah kipasan, aku juga yakin itu adalah petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Keinginganku untuk mondok itu, ku utarakan pada orang tuaku setelah Ujian Nasional. Sore itu, setelah paginya melaksakan akhir Ujian Nasioanl, ku hampiri ibuku yang sedang duduk di depan rumah. Sementara ayah pulang ke Sumenep untuk sementara, “Buk, aku pengin mondok. Tiga hari yang lalu, kak Dinda memberi saran agar aku lanjut mondok aja ikut kak Dinda. Dia pengin mondok juga.”
Mendengar perkataanku, ibu terkejut. Namun, aku berharap permintaanku itu terkabul. Selang beberapa hari kemudian, ayahku datang dan aku sangat bersyukur karena keduanya telah membolehkanku untuk mondok. Tentu saja aku akan mengahadapi kehidupan yang baru. kehidupan yang membuatku lebih mandiri dan lebih baik.
”
Saat pendaftaran tiba, aku, kedua orang tuaku, kak Dinda serta keluarganya pergi ke Surabaya untuk mengantarkan kami berdua yang mau mondok. Sebelum ibu dan ayah pulang. Ayah sempat berpesan kepadaku, “Nak, ayah mau pesen sama kamu. Sebelum tidur dan seusai salat tolong wajah ayah dan ibu kamu bayangkan ya, sertakan dengan doa terbaikmu. Pastinya, ayah dan ibumu juga akan selalu mendoakan yang terbaik.” Ujar ayah waktu itu dengan wajah yang kelihatan sedih.
Di pondok pesantren itu, tepatnya Ponpes al-Hakim aku banyak belajar mengenai kitab kuning, ada nahwu, sarraf, fikih dan lain sebagainya. Aku juga sangat bahagia di waktu itu karena mendapatkan rangking satu di semester satu dan dua. Ayah dan ibuku pun bangga mendengar kabar itu. Sementara di kelas dua MTS nilaiku turun karena tidak seberapa semangat untuk belajar. Aku lebih banyak ngobrol dengan teman. Tetapi, itu tidak membuatku putus asa. Di kelas terakhir, kelas tiga MTS, aku berusaha belajar keras, siang dan malam aku membaca buku dan kitab. Alhamdulillah, aku bisa wisuda dan dipilih sebagai wisudawati terbaik. Tidak ada usaha yang sia-sia.
Prestasi yang ku raih tidak hanya di MTS saja namun juga di Aliyah. Aku terus berusaha. Pesan ayah di awal aku mondok dengan memandang wajahnya dan ibuku, membuatku lebih semangat untuk belajar. Aku pun mendapatkan rangking satu di kelas satu dan kelas dua Aliyah. Semua itu ku lewati dengan penuh tantangan, mulai sering kehilangan barang, uang, dan diajak teman bolos. Semua pernah kurasakan. Tetapi tidak membuatku putus asa untuk bangkit lagi. Akhirnya, kelas tiga Aliyah, aku dipilih sebagai wisudawati terbaik dengan nilai tertinggi.
“
Tepat pada saat liburan aku pulang ke rumah dan aku ingin kuliah di perguruan tinggi. Namun, di malam itu, malam yang menggentarkan hati, saat aku dan keluargaku makan malam bersama, orangtuaku bilang, “Isy kamu tidak usah lanjut kuliah ya!”
“Kenapa bu? Aku kan penginnya nerusin belajar ke perguruan tinggi?”
“Sudah, kamu kan perempuan, tidak baik jauh-jauh pergi dari rumah. Gimana kalau nikah aja, soalnya kemaren ada orang tua Andi kalau anaknya, si Andi itu ingin melamarmu” Ujar ibuku.
“Tapi aku tidak mau yah, bu! Aisy masih muda untuk menanggung semuanya ketika sudah nikah nanti”
“Kamu pikir-pikir dulu aja Isy, tapi ibu dan ayah kamu berharap kamu segera menerima lamaran si Andi lalu, menikah dengannya”
Harapan orangtuaku tidak sebanding dengan harapanku yang ingin meneruskan belajar ke kampus. Aku ingin menuju masa depan yang cerah dan gemilang, orangtuaku pun dulu cuman sekolah hingga tingkat SMA. Bahkan aku disuruh menerima lamaran seorang laki-laki yang aku belum pernah mengenalnya, aku mau dinikahkan dengannya karena orangtuanya adalah sahabat orangtuaku dari waktu kecil. Sungguh ini tidak adil.
Entah apa yang aku harus lakukan pada saat itu, aku hanya berdiam diri di kamar dan tidak banyak berbicara. Di saat aku bersama keluarga pasti aku dibujuk untuk segara menikah belum lagi dibanding-bandingkan dengan anak tetangga yang sudah berumah-tangga.
“Gimana Isy, anaknya pak Wawan, si Anita itu sudah nikah loh dua bulan yang lalu”
“Aku belum siap buk!”
Akhirnya aku langsung pergi ke kamar meratapi tentang nasib masa depanku akan seperti apa. Aku ingin mondok seperti dulu lagi tetapi semua harapan itu rapuh seiring dengan keinginan orangtrua agar aku cepat menikah.
Setelah sebulan kemudian, aku menyerah dengan keadaan ini, hingga, di saat orangtuaku dan orangtua si Andi sudah saling menyetujui aku pun hanya bisa menganggukkan kepala, menerima lamaran itu walaupun batin menolaknya. Dua minggu setelah itu, aku menikah dengan Andi, seseorang yang belum pernah aku temui. Jika dibayangkan hati ini seperti diiris oleh silet sakit namun tidak berdarah. Di sisi lain aku juga bahagaia melihat senyum orangtuaku.
Setelah melewati sandiwara-sandiwara hidup, aku tetap bersabar dan tabah dengan menerima kenyataan. Aku pun terus belajar dari kehidupan dan terus memperbaiki diri. Kelak aku ingin anak-anakku belajar dan sekolah setinggi-tingginya. Ku katakan pada diri ini aku harus kuat menjalani semua ini, belajar mencintai suami dan semua keluargaku yang membesarkanku dari bayi hingga saat ini.

Post a Comment for "Harapan yang Rapuh"