Larangan Kaum Muslimin Mendoakan Non-Muslim yang Sudah Meninggal Menurut Al-Qur'an
![]() |
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai mukjizat melalui malaikat Jibril a.s. Allah swt turunkan Al-Qur’an selain sebagai mukjizat juga sebagai pedoman bagi umat Islam yang di dalamnya memuat ilmu, hukum-hukum dan juga ketentuan-ketentuan bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia.
Demikian pula dalam hal sosial, Al-Qur’an menyatakan bahwa orang muslim harus menjaga sikapnya kepada orang yang non-muslim, harus menjaga kerukunan dan juga tidak saling memudharatkan, inilah salah satu nilai moderat dalam Islam. Lantas bagaimana Al-Qur’an menyikapi hal-hal yang berhubungan dengan ubudiyah semisal seorang muslim mendoakan orang non-muslim?
Dalam tulisan sederhana ini akan mencoba menguraikan ayat-ayat Al-Qur’an dan tafsirnya yang berhubungan dengan mendoakannya seorang muslim kepada non-muslim yang ditinjau dari segi hukum.
Dalam Al-Qur’an surah al-Nur ayat 39 dinyatakan bahwa amal-amal orang kafir bagaikan fatamorgana di tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi tatkala didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Maksutnya adalah amal-amal baik mereka sia-sia di sisi Allah swt. Selanjutnya Allah swt berfirman dalam surah al-Taubah ayat 80, berikut bunyinya:
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (80)
“Engkau memohonkan ampun bagi mereka atau tidak memohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati engkau memohonkan ampun pada mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” (Q.S al-Taubah [9]: 80)
Dalam tafsirnya, al-Maraghi menyebutkan bahwa walaupun Nabi Muhammad saw mendoakan orang-orang munafik dan meminta kepada Allah untuk menghapus dosa-dosa dan mengampuni mereka ataupun tidak mendoakan mereka maka, tetap saja Allah swt tidak mengampuni dosa-dosa mereka bahkan aib-aib mereka akan ditampakkan kelak di hari kiamat.
Kendatipun Rasulullah saw juga membacakan Istighfar kepada mereka sebanyak-banyaknya maka, Allah tidak akan mengistajabahinya. Adapun tujuan Rasulullah saw membacakan Istighfar pada mereka ialah berharap agar Allah swt memberikan hidayah sehingga mereka dapat bertaubat kepada-Nya sebagaimana Rasulullah mendoakan orang-orang musyrik yang berbuat keji kepada Rasul pada waktu itu.
Alasan Allah swt tidak mengabulkan doa tersebut sebagaimana lanjutan ayat berikutnya, “zaalika biannahum kafaruu billahi warasuulihi” yakni karena mereka (orang-orang munafik) menentang keesaan Allah serta tidak meyakini bahwa Allah swt disifati dengan Yang Maha Mengetahui atas segala rahasia, bisikan dan hal-hal yang bersifat ghaib. Tidak hanya itu, mereka juga menentang wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah dan ajaran-ajarannya yang harus diikuti. Sehingga Allah swt tidak memberikan hidayah kepada mereka untuk bertaubat dan beriman kepada-Nya.
Secara spesifik dan transparan Allah swt mempertegas lagi mengenai larangan menshalati/mendoakan orang non-muslim yakni pada saat ia mati dalam keadaan kufur sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Taubat ayat 84.
وَلا تُصَلِّ عَلى أَحَدٍ مِنْهُمْ ماتَ أَبَداً وَلا تَقُمْ عَلى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَماتُوا وَهُمْ فاسِقُونَ (84)
“Dan janganlah engkau Muhammad melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik) selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik” (Q.S al-Taubah [9]: 84)
Asbab Nuzul pada ayat ini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa ketika Abdullah ibnu Ubay – tokoh kaum munafikin – meninggal dunia, putranya yang merupakan sahabat Nabi Muhammad saw yang mukmin bermohon kepada Nabi Muhammad untuk menshalati ayahnya tersebut (Abdullah Ibnu Ubay). Kemudian Rasul pun bangkit untuk itu tetapi Sayyidina Umar bin Khattab r.a memegang baju Rasul dan berkata, “Apakah engkau akan menshalatinya padahal Allah swt telah melarangmu menshalati orang-orang munafik?” Nabi Muhammad pun menjawab: “Allah memberi saya pilihan melalui firman-Nya: ‘Engkau memohonkan ampun bagi mereka atau tidak memohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati engkau memohonkan ampun kepada mereka tujuh puluh kali namun Allah sekali-kali tidak memberi ampun kepada mereka.’ Saya akan melebihkan dari tujuh puluh kali.” Umar r.a berkata, “Dia adalah munafik.” Namun Rasulullah saw tetap menshalatinya sehingga turunlah ayat ini.
Menurut Quraisy Shihab dalam tafsirnya “al-Misbah” Rasulullah saw melakukan itu tidak lain kecuali untuk menjaga perasaan sahabatnya, putra dari sang munafik itu dan dalam rangka menyampaikan bela sungkawa kepadanya.
Adapun pada potongan ayat “Laa Taqum ‘ala Qabrihi” (janganlah engkau berdiri di atas kuburannya) ulama’ tafsir memiliki pendapat yang berbeda-beda. Menurut Ibnu Asyur dan Sayyid Thanthawi maksud dari potongan ayat tersebut adalah jangan berdiri ketika ia dikuburkan dan jangan pula menziarahi kuburannya. Sehingga, ayat ini merupakan larangan bagi seorang muslim untuk mendoakan dan menziarahi makam non-muslim. Tafsiran yang lain yakni dari mufassir kontemporer, Rasyid Ridha dalam tafsir “al-Manaar” menyatakan bahwa yang diaksud dengan potongan ayat tersebut adalah larangan untuk berdiri di kuburanya pada saat orang yang bersangkutan mau dimakamkan dengan tujuan mendoakan dengan doa yang “al-Tatsbits” yakni doa yang mengandung permohonan agar yang mati mendapat kemudahan dalam menghadapi ujian dalam kubur serta mudah menjawab pertanyaan malaikat munkar dan nakir.
Quraisy Shihab juga memberikan klarifikasi mengenai pernyataan pendapat-pendapat ulama’ tafsir di atas yang menyatakan larangan untuk mendoakan dan berdiri di atas kuburannya orang non-muslim dengan menghadirkan riwayat hadis dari Imam al-Bukhari bahwa suatu ketika Rasul saw pernah berdiri ketika jenazah seorang Yahudi berlalu dihadapan beliau. Kemudian para sahabat bertanya karena heran melihat beliau berdiri. Nabi pun bersabda, “Bukankah dia juga manusia?” Sehingga, berdasarkan riwayat ini Quraish Shibab menyatakan bahwa tidak ada halangan untuk hadir dalam penguburan seorang kafir sekalipun, selama yang bersangkutan tidak didoakan. Demikian pula berkunjung ke kuburan mereka, maka dapat dibenarkan selama tidak memiliki tujuan mendoakannya.
Demikian pula argumen dari ulama’ fikih, salah satunya ialah Imam Nawawi dalam kitab fikihnya yang berjudul “al-Majmuu’” sebagaimana pernyataan beliau berikut ini:
وأما الصلاة على الكافر والدعاء له بالمغفرة فحرام بنص القرآن والإجماع - قال الشافعي في مختصر المزني والأصحاب : ويجوز للمسلم إتباع جنازة قريبه الكافر ، وأما زيارة قبره فالصواب جوازها وبه قطع الأكثرون
Adapun menshalati dan mendoakan orang kafir agar diberi ampunan (setelah ia mati) maka hukumnya haram sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan konsensus para ulama’. Imam al-Syafi’i dan para pengikutnya berkata dalam kitab Mukhtashar al-Muzni: Boleh hukumnya bagi seorang muslim untuk mengiringi jenazah kerabatnya yang kafir. Adapun menziarahi kuburannya maka, menurut mayoritas ulama’ adalah boleh hukumnya. (An-Nawawi, Majmuu’ [Beirut: Dar al-Fikr, 1997], juz. 5, halaman 120)
Dapat kita ambil benang merahnya bahwa maksud tidak boleh atau haram mendoakan pada ayat di atas adalah ketika orang yang non-muslim tersebut mati. Lalu, seperti apa hukum mendoakan orang non-muslim pada masa hidupnya? Maka jawabannya adalah boleh. Dalam hal ini Imam al-Thabari memberikan pernyataan sebagai berikut:
وقد تأوّل قوم قولَ الله: "ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولى قربى"، الآية، أنّ النهي من الله عن الاستغفار للمشركين بعد مماتهم، لقوله: "من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم". وقالوا: ذلك لا يتبينه أحدٌ إلا بأن يموت على كفره، وأما وهو حيٌّ فلا سبيل إلى علم ذلك، فللمؤمنين أن يستغفروا لهم.
Dalam pernyataan tersebut al-Thabari menjelaskan bahwa suatu kaum memberikan takwilan pada ayat yang artinya “Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik sekalipun orang-orang itu kaum kerabatnya…” (Q.S al-Taubah [9]: 113) dengan takwilan bahwa sesungguhnya larangan Allah swt untuk memintakan ampun bagi kaum musyrikin adalah setelah matinya mereka. Adapun saat ia dalam keadaan hidup di dunia maka, tidak ada yang bisa mengetahui hal itu sehingga, diperbolehkan bagi kaum mukminin untuk memintakan ampun bagi mereka. (Al-Thabari, Jaami’ al-Bayaan [Muassasah al-Risalah, 2000], juz. 14, halaman 15)
Demikian Al-Qur’an menyikapi hubungan antara orang Islam dan non-Islam yakni dalam hal akidah lebih spesifiknya pada hal ubudiyah, Islam sangat tegas tidak memperbolehkan mendoakan orang kafir yang sudah mati. Adapun untuk menjaga perasaan mereka maka, boleh bagi kaum muslim untuk mengiringi jenazahnya atau menziarahinya tanpa ada tujuan untuk mendoakan. Sedangkan apabila non-muslim yang dituju masih hidup maka, boleh hukumnya untuk memintakan ampun baginya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Thabari di atas.

Post a Comment for " Larangan Kaum Muslimin Mendoakan Non-Muslim yang Sudah Meninggal Menurut Al-Qur'an"