Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengenal Corak Al-Adabi Al-Ijtima‘i dalam Penafsiran Al-Qur'an


Mengenal Corak Al-Adabi Al-Ijtima‘i dalam Penafsiran Al-Qur'an

Salah satu corak tafsir yang muncul pada era modern ini yaitu corak al-Adabi al-Ijtima‘i. Corak tafsir al-Adabi al-Ijtima‘i   ini telah dikemukakan oleh para sarjana muslim tatkala mengkaji pemikiran dan penafsiran Muhammad Abduh dalam tafsir “al-Manar”. Seorang pengkaji pemikiran Abduh, Utsman Amin menyatakan bahwa Abduh tidak memberikan panafsiran harfiah kepada Al-Qur’an tetapi, penafsirannya lebih memperhatikan semangat dan ajaran-ajaran Islam yang universal. 

Definisi al-Adabi al-Ijtima‘i  

Kalimat al-Adabi al-Ijtima‘i   merupakan kata majemuk yang berasal dari dua suku kata yaitu adabi dan ijtima‘i. Secara etimologi, adabi yang merupakan masdhar dari aduba (fi’il madhi), memiliki arti kesusastraan yang merupakan bagian dari kajian ilmu gramatika bahasa arab seperti nahwu, sharaf, lughah dan balaghah. Dengan begitu, adabi berkaitan dengan keindahan bahasa yang digunakan oleh seorang mufassir. Sementara pengertian ijtima‘i   secara etimologi adalah sosial kemasyarakatan. Kedua term tersebut, oleh para ulama’ dijadikan sebagai hakikat urfiyah dan memiliki makna tersendiri yang mengacu pada suatu karakteristik dalam penafsiran Al-Qur’an. Jadi secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima‘i    adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan dan kemasyarakatan atau dapat disebut dengan tafsir sosio-kultural. (M. Karman, 2002: 316)

Sedangkan al-Adabi al-Ijtima‘i secara terminologi sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Farmawi yaitu suatu penafsiran Al-Qur’an dari aspek keindahan redaksinya, kemudian menyusun penjelasan itu dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan aspek hidayah Al-Qur’an bagi kehidupan masyarakat.

Untuk menafsiri Al-Qur’an dengan corak al-Adabi al-Ijtima‘i ini maka seorang mufassir berupaya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan bahasa yang indah kemudian mufassir melakukan upaya untuk menghubungkan tentang ayat-ayat yang sedang dikaji dengan realitas atau permaslahan-permasalan sosial dan budaya yang ada di masyarakat.

Dapat kita ketahui pula bahwa tafsir corak al-Adabi al-Ijtima‘i   memiliki dua karakteristik sebagaimana dijelaskan oleh Rifa’i dalam bukunya. Pertama, penafsiran Al-Qur’an dengan rumusan redaksi indah dan menarik yang tujuannya adalah untuk menarik jiwa manusia agar lebih giat beribadah kepada Allah serta mengamalkan petunjuka Al-Qur’an.

Kedua, mengubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat agar tafsir Al-Qur’an dapat diterima dan dipahami dengan mudah oleh mereka. Sebab terdapat relasi antara apa yang dikandung dalam Al-Qur’an dengan realitas hidup yang masyarakat alami. (Rifa’i Syauqi Nawawi, 2002: 112)

Tokoh Tafsir al-Ijtima‘i.

1. Muhammad Abduh (1266 H/1849 M-1905) dan Rasyid Ridha (1282 H-1354 H/1935 M) dengan karyanya yang berjudul “Tafsir al-Qur’an al-Karim” atau dikenal dengan “Tafsir al-Manar”.

2. Ahmad Mustafa al-Maraghi (w. 1945) dengan karyanya yang dikenal dengan “Tafsir al-Maraghi”.

3. Hamka dengan karyanya yang berjudul tafsir al-Azhar.

4. Abdullah Yusuf dengan karyanya yang berjudul The Holy Qur’an, Text, Translation and Commentary.

5. Syaikh Nawawi al-Bantani dengan karyanya yang berjudul Murah Labid.

6. Prof. Dr. Mahmud Yunus dengan karyanya yang berjudul Tafsir Qur’an al-Karim.

7. Prof. Dr. TM. Hasbi al-Shiddiqie dengan karyanya yang berjudul Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan.

Contoh Tafsir Tahlili Corak al-Adabi al-Ijtima‘i  

1. Tafsir al-Manar

Salah satu contoh dalam tafsir ini yang memiliki unsur ijtima’i-nya yaitu masalah poligami. Secara tegas, Al-Qur’an memperbolehkan untuk melakukan poligami dan Al-Qur’an telah menetapkannya hanya dengan menikahi empat istri saja.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)

 

Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya) maka, nikahilah perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan berlaku adil, maka, nikahilah seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” (Q.S al-Nisa’ [4]: 3)

Menurut Muhammad Abduh maksud dari ayat ini yaitu tentang perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki yang bertanggung jawab untuk mengelola harta anak yatim perempuan, terkadang ia tidak mampu mencegah dirinya untuk meluncurkan ketidak adilan dalam pengelolaan harta tersebut. Oleh karena itu, salah satu solusinya agar tidak terjadi kesalahan dalam pengelolaan tadi maka, dianjurkan untuk menikahi yatim perempuan tadi. (Rasyid Ridha, 1990: 282)

Kemudian, Muhammad Abduh menyebutkan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. dalam surat al-Nisa’ yang artinya, “Dan kamu mempunyai keinginan untuk menikahi mereka (anak-anak yatim)”, maksudnya ada perasaan di hati untuk menikahi mereka karena bekal harta dan kecantikan, maka dilarang untuk menikahinya kecuali apabila niatnya betul-betul lurus dari hati. (Rasyid Ridha, 1990: 282)

Sehingga, dapat kita ketahui bahwa Muhammad Abduh di sini menguraikan tentang jumlah istri dalam pembahasan anak yatim serta pelanggaran memakan harta mereka. Jika dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil misal memakan harta mereka ketika menikahi anak yatim tadi maka, hal ini dilarang dan Allah membolehkan nikah dengan perempuan lain sampai berjumlah empat dengan catatan yakni sebagaimana yang disebutkan, ia harus berlaku adil. Oleh sebab itu, persyaratan untuk dapat berpoligami ialah suami harus memiliki akhlak yang baik, dan secara ekonomi dia mampu untuk memberi nafkah kepada kedua istri atau lebih secara adil dalam setiap kondisi serta mampu untuk menjauhi hal-hal yang dapat menyulut perpecahan antar istri.

Jika kita identifikasi maka, corak tafsir al-Manar adalah ijtima‘i. yakni untuk merespon permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat sehingga, seorang yang membacanya seakan langsung mendapat hidayah dari Al-Qur’an, seperti ayat tentang poligami tadi yang dikaitkan dengan seorang wali yang memiliki tanggung jawab untuk mengelola harta anak yatim, apabila dalam pengelolaan tersebut ia sering berlaku tidak adil maka, soulisunya adalah menikahinya.

Di sisi lain Al-Qur’an membatasi untuk menikahinya dengan empat perempuan saja. Sehingga, seandainya khawatir memakan harta mereka bila mengawininya maka Allah membolehkan nikah dengan perempuan lain sampai berjumlah empat, tetapi bila tidak sanggup untuk berlaku adil maka satu saja izin yang diberikan.

Dapat disimpulkan, corak tafsir ini sangat cocok apabila digunakan untuk merespon permasalah-permasalahan seputar kemasyarakatan. Dengan corak ini masyarakat akan dapat merasakan bahwa seakan-akan Al-Qur’an memang langsung memberikan petunjuk kepada mereka.

 

 

 

 

 

 

 

                                       

 



Post a Comment for "Mengenal Corak Al-Adabi Al-Ijtima‘i dalam Penafsiran Al-Qur'an"