Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 222: Anjuran Mensucikan Diri Secara Hissi Maupun Maknawi
![]() |
| Ilustrasi: Kompas.com |
Selagi kita masih hidup di dunia, tentu kita tidak akan lepas dari yang namanya zahir dan batin. Kedua istilah tersebut berbeda namun, saling menyempurnakan di mana zahir biasanya diarahkan kepada jasad karena dapat dilihat oleh panca indera. Sementara batin biasanya diarahkan pada ruh karena tidak dapat dilihat oleh panca indera.
Selain kedua istilah yang disebutkan di atas, ada juga istilah yang mengarah pada sisi luar dan dalam yakni hissi dan maknawi. Tetapi, sayang sekali tatkala kebanyakan orang hanya memperhatikan dirinya hanya secara zahir atau hissi.
Terutama di saat pandemi mulai semakin merajalela, ada banyak program-program yang diwajibkan oleh pemerintah seperti memakai masker, cuci tangan, menjaga jarak dan lain sebagainya.
Arahan-arahan tersebut memang sangatlah diperlukan untuk meminimalisir angka pasien covid-19. Pasalnya, kebanyakan masyarakat hanya dominan pada mensucikan diri yang sifatnya hissi atau zahir saja misal mencuci tangan atau usaha lainnya agar terhindar dari covid-19 dan minim untuk lebih mengasah apa yang ada di dalam diri yaitu ruh yang sifatnya maknawi agar selalu dekat kepada Allah swt.
Dampaknya, mayoritas masyarakat panik, frustasi dan depresi, ditambah lagi dengan berita-berita di media sosial yang sebenarnya menularnya covid-19 tidak seperti yang telah diberitakan. Oleh sebab itu, inilah pentingnya untuk mengimbangi antara membersihkan diri yang sifatnya hissi dan membersihkan diri yang sifatnya maknawi.
Melalui firmannya, Allah swt menyatakan bahwa Ia suka kepada hamban-Nya yang mensucikan diri baik secara hissi ataupun maknawi sebagaimana dalam Q.S al-Baqarah [2]: 222.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S al-Baqarah [2]: 222).
Menurut Rasyid Ridha dalam tafsirnya “al-Manar”, mensucikan diri di sini dibagi menjadi dua opsi. Pertama, mensucikan diri secara hissiyah (sesuatu yang dapat dicapai dengan panca indera). Kedua, mensucikan diri secara maknawiyah (sesuatu yang tidak dapat dicapai panca indera). (Rasyid Ridha, 1990: 215)
Adapun yang dimaksud dengan mensucikan diri secara hissiyah yaitu seperti mensucikan badan dari segala kotoran, hadast (besar maupun kecil) serta dari kejelekan-kejelekan dan kemungkaran. Sedangkan yang dimaksud dengan mensucikan diri secara maknawiyyah yaitu mensucikan hati dari segala penyakit misalnya riya’, takabur, hasud dan lain-lain dengan cara bertaubat kepada Allah swt.
Senada dengan Rasyid Ridha, dalam “Taysir al-Karim al-Rahman”, al-Sa’di juga menyatakan maksud dari “Wayuhibbul Mutathahhirin” yaitu mencakup orang-orang yang membersihkan diri dari berhala-berhala dan juga orang-orang yang membersihkan anggota badan dari najis dan hadast (kecil maupun besar).
Menurut beliau, thaharah atau bersesuci di dalam Islam disyari’atkan secara mutlak karena Allah swt mencintai orang-orang yang disifati dengan demikian. Beliau juga menegaskan bahwa mensucikan di sini juga dapat diterapkan pada hal yang sifatnya maknawi misal mensucikan diri dari akhlak yang hina, sifat-sifat serta perbuatan-perbuatan yang tercela. (Al-Sa’di, 2000: 100)
Seseorang yang senantiasa mensucikan diri yang sifatnya maknawi maka ia akan senantiasa berdzikir atau mengingat Allah. dengan demikian ia juga akan mendapatkan kegembiraan dan ketentraman hati dalam menjalani kehidupannya. Allah berfirman dalam Q.S al-Taha [20]: 130.
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى (130)
Maka bersabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. (Q.S al-Taha [20]: 130)
Dalam kitab Tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar bersabar atas cemoohan orang-orang kafir terhadap ajarannya serta diikuti dengan perintah mensucikan (bertasbih) kepada Allah.
Lalu, mengapa Allah swt memerintah Nabi agar bersabar dan bertasbih pada waktu sebelum dan terbenamnya matahari? Sebagaimana lanjutan ayat tersebut la‘allaka tarda (supaya Nabi rida atas apa yang menimpa dirinya) sehingga, diterima di sisi Allah serta dibalas dengan pahala. (Al-Maraghi, 1946: 162)
Perintah bahwa dengan berdzikir dapat menentramkan hati juga diperkuat dengan firman-Nya dalam Q.S al-Ra‘d [13]: 28.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (28)
Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.
Menurut al-Sa`di kata zikir memiliki dua tafsiran. Pertama, zikir seperti membaca tasbih, tahlil dan takbir kepada Allah. Sehingga, seorang hamba tidak akan tentram hatinya kecuali dengan berzikir kepada Allah, tidak ada sesuatu yang lebih lezat ataupun manis selain cinta kepada Allah, mendekatkan diri serta bermakrifat kepada-Nya. Ukuran kecintaan dan makrifat kepada Allah ialah sesuai dengan zikir yang dilakukan.
Kedua, ketentraman hati didapat ketika mengetahui makna-makna dan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur`an karena akan menunjukkan kepada seorang hamba kenenaran yang terang disertai dengan dalil-dalil di dalamnya. Pada bagian ini, ketentraman tidak akan didapat kecuali dengan keyakinan dan pengetahuan.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa dalam mengarungi kehidupan terutama di masa pendemi ini tidak cukup hanya melakukan usaha yang sifatnya hissi saja tetapi juga butuh untuk melakukan usaha yang sifatnya maknawi yaitu dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Karena dengan adanya pandemi ini, kita juga dapat mengambil hikmah bahwa kehidupan di dunia tidak jauh dari ujian dan cobaan. Dengan mendekatkan diri kepada Allah hidup kita juga akan lebih tentram dan bermakna.

Post a Comment for "Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 222: Anjuran Mensucikan Diri Secara Hissi Maupun Maknawi"