Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an
Ilmu pengatahuan merupakan anugerah agung dan rahasia Ilahi yang sangat besar diantara beberapa rahasia Allah yang lain. Allah menciptakan manusia dengan perangkat akal dan pikiran yang bersifat responsif terhadap segala fenomena yang terjadi di bumi serta kekuasaan-Nya di jagad raya. Manusia dikukuhkan dengan ilmu pengetahuan yakni menjadi pembawa risalah kekhalifahan di muka bumi yang memiliki kewajiban untuk memakmurkan dan mensejahterakannya.
Di samping itu, Alquran sebagai sumber utama dalam Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Alquran juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang otentik
Dikatakan demikian, lantas seperti apa ilmu pengetahuan dalam Islam? Demikian pula bagaimana kedudukannya dan bukti ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan dalam Alquran. Oleh karenanya, melalui tulisan ini semoga sedikit banyaknya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu pengetahuan merupakan isi pokok dalam kitab suci Al-Qur`an. Di dalamnya, kata al-ilm sendiri disebutkan sebanyak 105 kali. Ilmu pengetahuan adalah kebutuhan umat Islam, setiap seorang hamba ingin melaksanakan ibadah maka, ia memerlukan tempat dan waktu yang tepat. Misalnya, melaksanakan shalat, menentukan bulan Ramadhan dan pelaksanaan haji, semua itu memiliki waktu tertentu.[1]
Untuk menentukan waktu yang tepat maka, dibutuhkan ilmu astronomi. Sehingga, di abad pertengahan, dalam Islam dikenal dengan istilah sains tentang waktu-waktu tertentu. Selain itu, banyak sekali ajaran-ajaran dalam Islam yang pelaksanannya memiliki keterkaitan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya melakukan ibadah haji, berdakwah dan lain sebagainya. Allah telah meletakkan garis-garis besar ilmu pengetahuan dalam Al-Qur`an. Sementara manusia, mereka hanya tinggal menggalinya. Sebagaimana dalam surat al-Rahman [55]: 33.
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ (33)
“Hai jama`ah Jin dan manusia, jika kamu ingin menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi. Maka, lintasilah, kamu tidak akan bisa menembusnya kecuali dengan kekuatan” (Q.S al-Rahman [55]: 33)
Ayat di atas pada masa empat belas abad yang silam telah memberikan isyarat secara ilmiyah kepada bangsa Jin dan Manusia, bahwasanya mereka telah dipersilakan oleh Allah untuk menjelajah di angkasa luar asalkan saja mereka punya kemampuan dan kekuatan (sulthan ). Kekuatan yang dimaksud di sini sebagaimana di tafsirkan para ulama adalah ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi, hal ini telah terbukti di era modern sekarang ini, dengan di temukannya alat transportasi yang mampu menembus luar angkasa, bangsa-bangsa yang telah mencapai kemajuan dalam bidang sains dan teknologi telah berulang kali melakukan pendaratan di Bulan, Pelanet Mars, Jupiter dan planet-pelanet lainnya.
Kemajuan yang telah diperoleh oleh bangsa-bangsa yang maju (bangsa barat) dalam bidang ilmu pengetahuan, sains dan teknologi di abad modern ini, sebenarnya merupakan kelanjutan dari tradisi ilmiah yang telah dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan Muslim pada abad pertengahan atau dengan kata lain ilmuan Muslim banyak memberikan sumbangan kepada ilmuan barat, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Yatim (1997) dalam bukunya Sejarah Perdaban Islam: “Kemajuan Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol”[2]
Hal ini diakui oleh sebagian mereka. Sains dan teknologi baik itu yang ditemukan oleh ilmuan muslim maupun oleh ilmuan barat pada masa dulu, sekarang dan yang akan datang, semua itu bukti kebenaran informasi yang terkandung di dalam Alquran, karena jauh sebelum peristiwa penemuan-penemuan itu terjadi, Alquran telah memberikan isyarat-isyarat tentang hal itu dan ini termasuk bagian dari kemukjizatan Alquran, dimana kebenaran yang terkandung di dalamnya selalu terbuka untuk dikaji, didiskusikan, diteliti, diuji dan dibuktikan secara ilmiah oleh siapa pun.
Alquran adalah kitab induk, rujukan utama bagi segala rujukan, sumber dari segala sumber, basis bagi segala sains dan ilmu pengetahuan. Alquran adalah buku induk ilmu pengetahuan, di mana tidak ada satu perkara apapun yang terlewatkan (Kartanegara, 2006), semuanya telah diatur di dalamnya, baik yang berhubungan dengan Allah (hablum minalla>h) sesama manusia (hablum minanna>s) alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu emperis, ilmu agama, umum dan sebagainya. Hal ini dapat kita ketahui sebagaimana dijeaslkan dalam Q.S. al- An‘am [6]: 38).[3]
Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu jelas merupakan modal dasar bagi seseorang dalam memahami berbagai hal baik terkait urusan duniawi maupun ukhrawi. Salah satu bukti nyata kemuliaan ilmu dalam Islam adalah ayat yang pertama diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad berhubungan dengan ilmu. Allah swt. berfirman, “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah Yang mengajarkan (manusia) dengan perantara qalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”[4]
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ayatullah Sayyid Hasan Sadat Mustafawi bahwa kata qalam sebenarnya juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mentransfer ilmu kepada orang lain. Kata qalam tidak diletakkan dalam pengertian yang sempit. Sehingga pada setiap zaman kata qalam dapat memiliki arti yang lebih banyak. Seperti pada zaman sekarang, komputer dan segala perangkatnya termasuk internet bisa diartikan sebagai penafsiran kata qalam. Allah juga bersumpah atas nama salah satu sarana ilmu, qalam alias pena. Allah swt. berfirman:
ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ (1) مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ (2) وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ (3) وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ (4)
“Nûn. Demi qalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tiada putusnya. Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Al-Qur’an juga banyak menyebutkan kedudukan dan keutamaan para ilmuwan. Salah satunya firman Allah swt. berikut: “Katakanlah, Adakah sama orang-orang yang mengetehui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” Juga dalam firman Allah swt. yang lain, “Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dari sekian banyak manusia yang ada di muka bumi ini, para ilmuwanlah yang dinilai paling banyak memiliki pengetahuan, pemahaman, dan keimanan pada segala hal yang berasal dari Allah. Mereka juga dinilai paling mampu dalam menyebarkan dakwah.
Mengenai posisi istimewa ini, Allah swt. berfirman, “Orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”[5]
Allah swt. juga berfirman dalam ayat yang lain, “Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semua itu dari sisi Tuhan kami. Hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran (dari ayat-yat itu).’”[6]
Allah swt. berfirman pula, “Perumpamaan-perumpamaan itu kami buatkan untuk manusia. Tiada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”[7]
Ayat-Ayat Tentang Ilmu Pengetahuan dan Tafsirnya
1. Surat al-Tawbah (9) ayat 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
2. Surat al-Mujadalah (58) ayat 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11)
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam majlis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-Mujadalah [58]: 11)
Tafsir Ayat:
Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu, oleh siapapun: “Berlapang-lapanglah, yakni berupayalah dengan sungguh-sungguh walau dengan memaksakan diri untuk memberikan tempat pada orang lain, dalam majelis-majelis, yakni satu tempat, baik itu tempat duduk maupun bukan untuk duduk, apabila diminta kepada kamu untuk melakukan itu maka lapangkanlah tempat itu untuk orang lain dengan sukarela. Maka jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu ke tempat yang lain atau bangkitlah untuk melakukan sesuatu seperti untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkitlah, Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu, wahai yang memperkenankan tuntunan ini, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat kemuliaan di dunia dan di akhirat dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa datang.[9]
Kata tafassahuu dan ifsahuu pada ayat tersebut, terambil dari kata fasah}a, yakni lapang. Sedangkan kata unsyuzuu terambil dari kata nuzuz yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ke tempat yang lebih tinggi. Yang dimaksudkan adalah pindah ke tempat lain untuk memberikan kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit melakukan suatu aktifitas yang positif.
Sementara itu, ada juga yang memahaminya dengan berdirilah dari rumah Nabi, jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan nabi saw yang lain dan yang perlu segera beliau hadapi. Sedangkan kata majalis adalah bentuk jamak dari majlis. Pada umumnya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi saw memberikan tuntunan agama ketika itu. Tetapi yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik itu tempat duduk, tempat berdiri, atau bahkan tempat berbaring. Karena, tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar secara mengalah kepada orang-orang yang dihormati atau pun orang-orang yang lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun.[10]
3. Surat al-‘Alaq (96) ayat 1-5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5).” (Q.S al-Alaq [96]: 1-5)
Tafsir Ayat:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan” (ayat 1). Dari suku kata pertama saja yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi Muhammad disuruh untuk membaca wahyu yang akan diturunkan kepada beliau atas nama Allah, tuhan yang telah menciptakan. Yaitu “Menciptakan manusia dari segumpal darah” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah. Yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan yang setelah 40 hari lamanya, air itu akan menjelma menjadi segumpal darah dan dari segumpal darah itu kelak setelah 40 hari akan menjadi segumpal daging. “Bacalah, dan tuhanmu itu adalah maha mulia”[11] (ayat 3).
Setelah pada ayat pertama beliau menyuruh membaca dengan nama allah yang menciptakan manusia dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruh membaca diatas nama tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah yang maha mulia, maha dermawan, maha kasih dan sayang kepada mahluk-Nya. “Dia yang mengajarkan dengan kalam” (ayat 4). Itulah istimewanya Tuhan itu lagi. Itulah kemulianya yang tertinggi. Yaitu diajarkanya kepada manusia berbagai ilmu, dibukanya berbagai rahasia, diserahkanya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah yaitu dengan qalam.
Dengan pena disamping lidah untuk membaca, Tuhanpun mentaksirkan pula bahwa dengan pena ilmu dapat dicatat. Pena itu kaku dan beku serta tidak hidup namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahami oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu” (Ayat 5). Terlebih dahulu Allah ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatat ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang sudah ada dalam tanganya.[12]
KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan merupakan isi pokok dalam kitab suci Al-Qur`an. Di dalamnya, kata al-ilm sendiri disebutkan sebanyak 105 kali. Bahkan dengan kata jadiannya ia disebut lebih dari 744 kali. Ilmu pengetahuan adalah kebutuhan umat Islam, setiap seorang hamba ingin melaksanakan ibadah maka, ia memerlukan tempat dan waktu yang tepat. Misalnya, melaksanakan shalat, menentukan bulan Ramadhan dan pelaksanaan haji, semua itu memiliki waktu tertentu.
Ilmu sangatlah mulia. Salah satu bukti nyata kemuliaan ilmu dalam Islam adalah ayat yang pertama diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad berhubungan dengan ilmu. Allah swt. berfirman, “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah Yang mengajarkan (manusia) dengan perantara qalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang ilmu pengetahuan, sebagaimana yang telah disajikan oleh pemakalah di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Qutub, Sayid, Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur`an dan Hadis dalam Humaniora, No. 2, Vol. 2, Oktober 2011.
Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 187
HAMKA, Tafsir al-Azhar, Vol. 10 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), 8059
Mulyono, Kedudukan Ilmu Dan Belajar Dalam Islam dalam Tadris, No. 2, Vol. 4, 2009.
[1] Sayid Qutub, Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur`an dan Hadis dalam Humaniora (No. 2, Vol. 2, Oktober 2011), 1341.
[2] Ibid., 1342.
[3] Ibid., 1343.
[4] Mulyono, Kedudukan Ilmu Dan Belajar Dalam Islam dalam Tadris (No. 2, Vol. 4, 2009), 2010.
[5] Q.S. Saba’ : 6.
[6] Q.S. Ali 'Imran : 7.
[7] Q.S. al-‘Ankabût: 43.
[8] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 187
[9] Ibid., 174.
[10] Ibid., 175.
[11] HAMKA, Tafsir al-Azhar, Vol. 10 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), 8059
[12] Ibid., 8060.

Post a Comment for "Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an "