Tafsir Surat Al-Fatihah: Hakikat Ibadah Kepada Allah Sebagai Cara Elegan Menghadapi Kehidupan Yang Rumit
Surat al-Fatihah tergolong surat Makiyyah yang berjumlah tujuh ayat. Surat al-Fatihah adalah surat yang paling istimewa dari 144 surat dalam Al-Qur’an. Ulama’ tafsir menjulukinya sebagai ‘Um al-Kitaab (Induknya Al-Qur’an) sebab di dalam surat al-Fatihah memuat isi atau kandungan makna yang terdapat di dalam surat-surat lainnya.
Syaikh hasan al-Banna dalam risalahnya “Muqaddimah al-Tafsir” yang dikutip oleh al-Sabuni mengatakan bahwa tidak ada keraguan bahwa seseorang yang berangan-angan tentang makna surat al-Fatihah maka ia akan melihat banyaknya makna yang terkandung dan keindahan surat al-Fatihah, relasi antara ayat per-ayat dapat menggetarkan serta menerangi hatinya.
Al-Fatihah dibuka dengan membaca Basmalah yang tujuannya ialah mengharapkan suatu kebaikan, Bismillah disifati dengan al-Rahmah yang telah berlimpah rahmat Allah terhadap segala sesuatu. Sehingga, ketika seorang hamba telah merasakan makna yang terkandung serta menetapkannya dalam hati maka lisannya akan mengatakan pujian pada Allah swt. (Ali al-Sabuni, 1997: 22).
Tafsir Surat al-Fatihah
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin
Dalam hal ini Allah swt memberi didikan kepada hamba-Nya tentang bagaimana cara untuk memuji dan mensucikan Allah dari hal-hal yang menyerupai-Nya. Menurut Syaikh Ali al-Sabuni, maksud dari potongan ayat ini yaitu ketika seorang hamba ingin bersyukur dan ingin memuji kepada Allah maka, ucapkanlah “Alhamdulillah”. Allah adalah dzat yang maha agung, maha mulia dan maha menguasai, yang berbeda dengan mahluk. Oleh sebab itu, pujian dan syukur hanyalah kepada Allah bukan pada selain Allah (Ali al-Sabuni, 1997: 22)
Arrahmaanirrahiim
Syaikh Abdul Latif dalam “Awdah al-Tafasir” menyatakan kasih sayang Allah (al-Rahman) meliputi terhadap semua mahluk-Nya sementara al-Rahim hanya dikhususkan bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Kedua kalimat tersebut merupakan asma’ dan sifat Allah swt yaitu menetapkan sifat kasih sayang sesuai dengan keagungan-Nya. (Abdul Latif, 1964: 17)
Maaliki Yaumiddiin
Allah adalah dzat yang maha suci, yang maha merajai dan menguasai hari pembalasan dan hari di mana para manusia di hisab amalnya. Sebagaimana seorang raja yang mengatur kerajaannya.
Iyyaaka Na’budu Waiyyaaka Nasta’iin
Seorang hamba harus melaksanakan ibadah hanyalah kepada dan karena Allah, serta hanya kepada-Nya seorang hamba meminta pertolongan. Allah melarang seorang hamba untuk menyembah selain-Nya. Sehingga, di hadapan Allah seorang hamba harus merasa hina, rendah, tentram dan khusyu’.
Al-sa’di memberikan penjelasan yang menarik dalam tafsirnya mengenai potongan ayat ini. Menurutnya, ibadah itu di dahulukan dari pada meminta pertolongan “Isti‘anah”, hal ini termasuk bagian dari bab mendahulukan sesuatu yang umum dari pada yang khusus, serta sebagai bentuk perhatian dengan cara mendahulukan hak Allah dari pada hamba-Nya yaitu dengan lebih mendahulukan ibadah. Baru kamudian disebutkan “meminta pertolongan”.
Lalu, apa itu ibadah? Ibadah adalah suatu istilah yang digunakan untuk setiap sesuatu yang Allah cintai dan Allah ridhai dari amal seorang hamba, juga mencakup perkataan-perkataan baik secara batin atau dhahir. Sementara “Isti‘anah” atau meminta pertolongan yaitu bersandar diri kepada Allah dalam menarik atau menerima suatu kemanfaatan dan menolak kemudharatan, yang disertai dengan sikap optimis untuk mendapatkannya. (Al-Sa’di, 2000: 39)
Beliau juga mengatakan bahwa ibadah dan meminta pertolongan kepada Allah adalah wasilah untuk menuju kebahagiaan yang abadi, selamat dari segala kejelekan, sehingga tidaklah seorang hamba selamat kecuali dengan keduanya. Sementara tujuan lain disebutkannya “Ibadah” sebelum lafal “Isti‘anah” maka karena butuhnya seorang hamba terhadap pertolongan Allah swt untuk melakukan segala ibadahnya. Tanpa pertolongan Allah maka, seorang hamba tidak akan bisa merealisasikan perintah dan menjauhi larangan Allah swt.
Ihdinash Shiraathal Mustaqiim
Pada potongan ayat ini mengandung do’a yakni agar seorang hamba meminta kepada Allah petunjuk untuk menuju jalan kebenaran, agama Allah yang lurus, agar ditetapkan dalam agama Islam yang di dalamnya diutus para Nabi dan Rasul dan mengutus Nabi Muhammad saw sebagai Nabi terakhir, serta agar dijadikan sebagai orang yang berjalan di jalannya orang-orang yang dekat dengan Allah swt. (Al-Sabuni, 1997: 19)
Shiraatal Laziina an ‘Amta ‘Alaihim
Yaitu jalannya orang-orang yang diberikan keutamaan oleh Allah swt dari kemuliaan dan kenikmatan, baik dari Nabi-Nabi, orang-orang yang benar, para syuhada’, para orang shaleh.
Ghairil Mauduu bi ‘Alaihim Walad Dzaaalliin
Dalam tafsirnya, Imam al-Maraghi menyatakan bahwa terdapat dua golongan yang tidak mendapat nikmat dari Allah swt. Golongan pertama ialah mereka yang keluar dari kebenaran setelah mengetahuinya, melenceng setelah mendapat kejelasan dan mereka yang ridha terhadap warisan dari ayah-ayah dan kakek-kakeknya yang terdahulu (Yahudi dan Nasrani).
Golongan kedua adalah mereka yang tidak pernah mengenal kebenaran selamanya atau mengenal namun tidak ada kejelasan, dalam artian mereka dalam kesesatan, mencampur kebenaran dan kebatilan, serta jauh dari jembatan yang dapat mengantarkannya kepada jalan yang lurus, maka, mereka adalah orang-orang yang dzalim. (Al-Maraghi, 1946: 24)
Kesimpulan
Melalui tafsir al-Fatihah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wujud ibadah yang sejati akan terlihat pada diri seorang hamba apabila ia melakukannya dengan tulus yakni melakukan ibadah hanya karena Allah serta menjauhi segala sesuatu yang dilarang-Nya. Ibadah yang demikian merupakan ibadah yang berhasil bagi seorang hamba untuk membangun kedekatan kepada Allah swt. Dengan mendekatkan diri kepada Allah maka, akan melahirkan kedamaian dan kebahagiaan serta kemudahan dalam menghadapi segala persoalan yang rumit.
Kemudahan-kemudahan tersebut akan dirasakan oleh diri seorang hamba dengan memahami Iyyaka Na’budu dan Iyya Kanastain secara profesional dan penerapan pemahaman yang tepat (proporsional) terhadap makna Iyya Kana’budu dan Iyyaka Nastain pada diri seorang hamba dalam menjalani kehidupannya, sehingga akan meluruskan ni’at dan tujuannya.
Dengan ni’at dan tujuan yang lurus, akan memperjelas seorang hamba untuk melakukan segala aktivitasnya selama di dunia sebab ia mengawali aktivitasnya dengan Bismillah dan hasilnya selalu diucapkan dengan Alhamdulillah. Kedua ucapan tersebut sebagai bentuk pemenuhan seorang hamba kepada Allah.
Tafsir surat al-Fatihah di atas dapat dijadikan solusi bagi seorang hamba dalam segala persoalan bahwa kedamaian dapat terwujud bila pemahaman surat al-Fatihah di atas diterapkan secara profesional dan proporsional. Kedamaian tersebut dapat terwujud karena kedekatannya kepada Allah swt.

Post a Comment for "Tafsir Surat Al-Fatihah: Hakikat Ibadah Kepada Allah Sebagai Cara Elegan Menghadapi Kehidupan Yang Rumit"