Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Etika Mengkritik Atasan Menurut Al-Qur’an

 

Etika Mengkritik Atasan Menurut Al-Qur’an

Di zaman yang serba modern ini, hal apapun dapat diakses melalui internet bahkan juga membuka peluang sebesar-besarnya untuk menyampaikan aspirasi atau kritik kepada siapapun misalnya kepada pemerintah. Namun, terkadang kritik yang diposting di media-media online seperti di facebook, kerapkali tidak patut karena mengandung unsur menghina atau merendahkan martabat objek yang dituju. Akibatnya, kritik tersebut bukan malah bernilai konstruktif namun, mengajak orang yang membacanya juga benci kepada pihak yang dikritik.

Oleh sebab itu, hal ini perlu penangan agar tidak berdampak kepada suatu hal yang lebih fatal yaitu terpecah belahnya umat atau bangsa.

Sebenarnya, dalam Al-Qur’an sudah diceritakan perihal cara mengkritik seorang atasan atau pemimpin yang dzalim yakni dengan cara “Qaulan Layyinan” (ucapan yang lembut). Allah swt berfirman dalam Q.S al-Thaha [20]: 43-44.

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (44)

Pergilah kamu berdua kepada fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas # maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut” (Q.S al-Thaha [20]: 43-44)

Syaikh Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya “al-Munir” menjelaskan bahwa maksud dari “Qawlan Layyinan” yakni dengan perkataan yang lemah lembut dan tidak kasar. Sebab uapan yang lembut adalah lebih berpengaruh dan membekas. Menurut beliau dalam ayat di atas mengandung pelajaran dan nasihat di mana fir’aun yang merupakan raja yang sombong hingga kemudian Allah swt mengutus Nabi Musa yang menjadi pilihan-Nya untuk memberikan sutau kritikan kepada fir’aun dengan perkataan yang lemah-lembut. Dalam ayat yang lain Allah swt juga berfirman:

ادْعُ إِلى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ، وَجادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Suruhlah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik” (Q.S al-Nahl [16]: 125)

Lebih jelasnya lagi Syaikh al-Maraghi dalam tafsirnya menyatakan bahwa maksud dari “Qawlan Layyinan” adalah ungkapan yang tidak mengandung unsur celaan dan kasar. Oleh sebab itu Allah swt perintahkan Musa dan Harun berdakwah kepada fir’aun dengan perkataan yang lembut sebab dengan perkataan yang lembut dapat meluluhkan hati-hati orang yang menentang dan melemahkan orang-orang yang melampaui batas.

Adapun perkataan Musa kepada fir’aun pada waktu itu adalah sebagaimana diceritakan oleh Allah swt dalam an-Naziat sebagai berikut:

هَلْ لَكَ إِلى أَنْ تَزَكَّى ، وَأَهْدِيَكَ إِلى رَبِّكَ فَتَخْشى

Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri (dari kesesatan), dan engkau akan ku pimpin ke jalan Tuhanmu agar engkau takut kepada-Nya?” (Q.S a-Nazi’at [79]: 18-19)

Demikin Al-Qur’an menjelaskan mengenai etika dalam menyampaikan dakwah kepada orang yang memiliki jabatan tinggi seperti fir’aun. Walaupun sudah jelas kemungkaran dan kesesatan fir’aun karena tidak menyembah Allah swt namun, Allah swt memerintah Nabi Musa dan Harun untuk memberikan dakwah kepadanya dengan lemah-lembut.

Begitu juga tatkala kita ingin menyampaikan suatu aspirasi atau kritik kepada pemerintah maka, seyogianya kita tidak menyampaikan dengan perkataan-perkataan yang kasar dan menjurus pada menghina karena kata-kata seperti itu dapat menyulut kebencian dan perpecahan. Tetapi memakai etika yakni dengan perkataan yang lemah dan lembut agar lebih membekas kepada hati pihak yang dituju.

 

 

Post a Comment for "Etika Mengkritik Atasan Menurut Al-Qur’an"