Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Asbab Al-Nuzul Dan Kaidah Al-Ibrah bi Umum al-Lafdzi aw bi Khusus al-Sabab

Latar Belakang Masalah

 

Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah swt sebagai mukjizat kepada Nabi Muhammad saw. Jika dilihat dari segi sejarah turunnya Al-Qur’an maka, menurut al-Ja’bari turunnya ayat-ayat Al-Qur’an ialah dibagi menjadi dua yaitu turun tanpa adanya sebab dan yang kedua yaitu turun karena adanya suatu peristiwa dan pertanyaan. Dalam diskursus ilmu Al-Qur’an ulama’ menyebut pembagian yang kedua dari turunnya ayat tadi dengan sebutan Asbab al-Nuzul. Pembagian yang kedua ini sangat penting dikaji dan dipahami lebih agar dapat menangkap makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan, Imam al-Wahidi, sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Suyuthi dalam kitabnya “Lubab al-Nuqul” menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan sebab turunya ayat tersebut. 
 
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dibahasa mengenai apa itu Asbab al-Nuzul, bentuk-bentuk serta urgensi mengkajinya. Tidak lain tujuan utamanya ialah agar lebih dalam memahami ayat Al-Qur’an

Definisi Asbab al-Nuzul

Definisi Asbab al-Nuzul secara etimologi ialah terdiri dari lafal “Asbab” yang merupakan bentuk jamak dari lafal “Sababa”. Asbab memiliki arti “beberapa sebab” dan terdiri dari lafal “Nuzul” (berasal dari lafal Nazala) yang berarti “turun”. Sehingga Asbab al-Nuzul adalah sebab-sebab turunnya ayat. Jika ditinjau dari segi susunan maka, “Asbab al-Nuzul” merupakan “tarkib idafi” yaitu susunan antara dua kalimat isim yang saling berkaitan dan mewajibkan kalimat isim yang kedua dibaca jer.

Sementara definisi Asbab al-Nuzul secara terminologi, terdapat beberapa tawaran yang dijelaskan oleh beberapa ulama’ diantaranya ialah sebagai berikut:

1. Mana’ al-Qathan

هو ما نزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة أو سؤال.

“Sesuatu yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an yang berkenaan dengannya baik karena adanya suatu peristiwa atau terdapat suatu pertanyaan[1]

2. Subhi Salih

ما نزلت الآية أو الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقوعه

“Peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat atau beberapa ayat yang mengandung peristiwa tersebut, atau sebagai jawaban untuknya atau untuk menjelaskan hukum yang terjadi pada zaman itu”[2]

3. Al-Zarqani 

سبب النزول هو ما نزلت الآية أو الآيات متحدثة عنه أن مبينة لحكمه أيام وقوعه

Suatu peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat atau beberapa ayat yang berkenaan dengan peristiwa tersebut untuk menumbuhkan hukum di waktu terjadinya”[3]

Kendatipun definisi yang dinyatakan oleh beberapa ulama’ di atas berbeda namun, dapat kita simpulkan bahwa Asbab al-Nuzul adalah suatu faktor yang melatarbelakangi turunnya ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an baik itu karena untuk merespon suatu peristiwa atau untuk menjawab suatu pertanyaan atau suatu hukum di masa Rasulullah saw. 

Sehingga, dalam kitab “Mabahits fi Ulum Al-Qur’an” Mana’ al-Qathan menyatakan bahwa secara garis besar Asbab al-Nuzul atau sebab turunnya Al-Qur’an itu berdasarkan dua faktor:[4]

1.      1. Apabila terdapat suatu peristiwa maka, turunlah ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa tersebut

Turunnya ayat “dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat” (Q.S al-Hijr [26]: 94) adalah berkenaan dengan peristiwa Nabi Muhammad saw keluar dari rumah untuk pergi ke atas bukit Safa. Kemudian Rasulullah saw berteriak “Wahai kaumku!” maka, mereka pun berkumpul menghadap Nabi. Setelah itu Nabi Muhammad bersabda “Apa pendapat kalian jika aku memberitahukan kepada kalian tentang pasukan berkuda yang berada dibalik gunug ini, apakah kalian memepercayaiku?” Para sahabat pun menjawab “Kami belum pernah sama sekali melihat engkau berdusta”. Nabi meneruskan “Sesunguhnya aku adalah orang yang memperingatkanmu tentang siksa yang pedih”. Lalu, Abu Lahab tidak terima terhadap tindakan Nabi Muhammad, ia berkata “Celakalah engkau! Apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk perkara ini?” Abu Lahab kemudian berdiri dan turunlah ayat “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!” (Q.S al-Lahab [111]: 1).

2.    2. Apabila terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw maka, turunlah ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan hukumnya.

Sebagaimana kisah Khaulah binti Tsa’labah yang dikenai Dzihar oleh suaminya yang bernama Aus bin Shamit. Sehingga, Khaulah pun pergi untuk mengadu kejadian yang dialaminya tersebut kepada Rasulullah saw. Diceritakan dari Aisyah r.a, beliau berkata “Maha suci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segalanya. Sesungguhnya aku telah mendengar perkataan Khaulah binti Tsa’labah, walaupun tidak semuanya. Ia mengadu kepada Rasulullah dengan perkataan ‘Wahai Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku, aku telah beberapa kali mengandung anaknya sehingga ketika aku telah tua dan tidak eranak lagi, suamiku menjatuhkan dzihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu’” Asiyah pun melanjutkan ceritanya “Tak lama kemudian, turunlah malaikat jibril dengan membawa ayat

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ

Terlepas dari pembahasan Asbab al-Nuzul di atas maka, perlu diketahui bahwa setiap ayat yang turun belum tentu ia juga memiliki Asbab al-Nuzul atau penyebab turunnya ayat tersebut. sebab sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa ayat-ayat Al-Qur’an turun tidak hanya ketika ada sautu peristiwa atau pertanyaan. Akan tetapi juga terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw tanpa didasari dengan adanya sebab peristiwa atau pertanyaan seperti di atas. Imam al-Suyuti dalam kitabnya, mengutip pendapatnya Imam al-Ja’bari bahwa turunnya Al-Qur’an, jika ditinjau dari segi adanya sebab dan tidaknya maka, dibagi menjadi dua yaitu “ibtida’an” dan “nazala waqi‘a hadistatin aw s|u’alin”.[5] Bagian yang pertama “ibtida’an” yaitu ayat-ayat yang turun tanpa adanaya sebab seperti ayat yang menjelaskan tentang akidah, keimanan, beberapa kewajiban dalam Islam, tentang syari’at baik berkenaan terhadap kehidupan seorang hamba (individu) atau universal (berjam’ah). Maka, ini yang dimaksud dengan ayat Al-Qur’an turun tanpa adanaya sebab. Sementara yang kedua yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang turun karena adanaya suatu peristiwa yang melatarbelakanginya atau karena adanya suatu pertanyaan sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas.

Bentuk-Bentuk yang melatar belakangi Asbab al-Nuzul

Adapun bentuk ungkapan yang menunjukan Asbab al-Nuzul ialah ada tiga. Dua diantaranya dapat digunakan sebagai Asbab al-Nuzul. Dan satunya lagi belum dapat dipastikan. Adapun jenis bentuknya tersebut:

1. سبب نزول هذه الأية (Sebab turunnya ayat ini adalah)

Apabila satu peristiwa didahului oleh ungkapan ini, maka tidak diragukan lagi bahwa peristiwa itu merupakan Asbab al-Nuzul ayat yang disebut sebelumnya.

2.     2.  Tidak menggunakan kata ­­­ سببُ

Tidak setiap riwayat Asbab al-Nuzul menggunakan seperti bagian yang pertama tetapi, juga menggunakan ungkapan فنزلت atau فانزل الله  yang dimulai dengan hururf Fa’ setelah peristiwa dijelaskan. Hal ini tidak diragukan lagi bahwa peristiwa itu juga merupakan Asbab al-Nuzul ayat bersangkutan, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang diterima dari Jabir, ia berkata, orang yahudi berkata: “Siapa saja yang mempergauli istrinya dari arah belakang maka anaknya akan lahir dalam keadaan cacat   فانزل الله (maka Allah menurunkan)

.نسآؤكم حرثٌ لكُم فأتواْ حرثكم أنَّى شئتمْ

3.   3. Ungkapan yang tidak menggunakan kata سبب dan juga tidak menggunakan ف setelah peristiwa. Akan tetapi, ia menggunakan kata-kata itu sebelum menjelaskan peristiwa. Hal ini tidak dapat dikatakan Asbab al-Nuzul secara pasti, tetapi ada dua kemungkinan, mungkin Asbab al-Nuzul   dan mungkin juga tidak, seperti:

فأَترلت هذه الأية في

Untuk menentukan peristiwa yang menjadi Asbab al-Nuzul suatu ayat, ungkapan-ungkapan di atas perlu menjadi pertimbangan dan perhatian seorang mufassir[6].

Ungkapan-ungkapan yang di gunakan oleh para sahabat untuk menunjukkan turunnya Al-Qur’an tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu secara garis besar di kelompokkan dalam dua kategori, yaitu[7]:

1.    1. Sarih (jelas). Ungkapan riwayat “sarih” yang memang jelas menunjukkan Asbab al-Nuzul dengan indikasi menggunakan lafal (pendahuluan). “sebab turun ayat ini adalah...”, “telah terjadi..... maka turunlah ayat…..”, “rasulullah saw pernah di tanya tentang ....... maka turunlah ayat…..”.  Contoh lain: QS. Al-maidah, ayat 2 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2)

“Hai orang-orag yang beriman, janganlah kamu melanggar shi’ar-shi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qala-id, dan jangan pula mengganggu orang-orang yang mengunjungi baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhoannya dari tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari masjid al-haram, mendorongmu membuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya” (Q.S. al-Maidah [5]:  2)

Asbab al-Nuzul dari ayat ini ialah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ikrimah yang telah bercerita, bahwa Hatham bin Hindun al-Bakri datang ke Madinah beserta kafilahnya yang membawa bahan makanan. Kemudian ia menjualanya lalu ia masuk ke Madinah menemui nabi saw. Setelah itu Rasul membaiatnya masuk Islam. Tatkala ia pamit untuk keluar pulang, Nabi memandangnya dari belakang kemudian beliau bersabda kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, “Sesungguhnya ia telah menghadap kepadaku dengan muka yang bertampang durhaka, dan ia pamit dariku dengan langkah yang khianat.” Tatkala al-Bakri sampai di Yamamah, ia kembali murtad dari agama Islam. Kemudian pada bulan dzulka’dah ia keluar bersama kafilahnya dengan tujuan pergi Makkah. Tatkala para sahabat Nabi saw. Mendengar beritanya, maka segolongan sahabat Nabi dari kalangan kaum muhajirin dan kaun ansar bersiap-siap keluar Madinah untuk mencegat yang berada dalam kafilahnya itu. Kemudian Allah swt menurunkan ayat, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah…” (QS. Al-maidah [5]: 2). Kemudian para sahabat mengurungkan niatnya (demi menghormati bulan haji itu)[8].

Hadits serupa di kemukakan pula oleh al-Saddi., Ibnu Abu Khatim menceritakan dari Zaid bin Aslam yang mengatakan bahwa rasulullah saw. bersama para sahabat tatkala berada di Hudaibiah, yaitu sewaktu orang-orang musyrik mencegah mereka untuk memasuki Bait al-Haram peristiwa ini sangat berat dirasakan oleh mereka, kemudian ada orang-orang musyrik dari penduduk sebelah timur jazirah Arab untuk tujuan melakukan umroh. Para sahabat nabi saw. berkata, marilah kita halangi mereka sebagaimana (teman-teman mereka) menghalangi sahabat-sahabat kita. Kemudian Allah swt. menurunkan ayat, “janganlah sekali-kali mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka...” (QS. al-Maidah [5]: 2)[9]

2.      2. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)

Ungkapan “mutammimah” adalah ungkapan dalam riwayat yang belum dipastikan asbab an-nuzul karena masih terdapat keraguan. Hal tersebut dapat berupa ungkapan sebagai berikut: “ayat ini diturunkan berkenaan dengan ...”, “saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ...........”, “saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan.....”  Contohnya: QS. Al-baqarah/2: 223

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (223)

 “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, mak datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah [2]: 223).

 

Dalam sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Hakim, dari Ibnu Abbas di kemukakan bahwa penghuni kampung di sekitar Yatsrib (Madinah), tinggal berdampingan bersama kaum Yahudi ahli kitab. Mereka menganggap bahwa kaum Yahudi terhormat dan berilmu, sehingga mereka banyak meniru dan menganggap baik segala perbuatannya. Salah satu perbuatan kaum Yahudi yang di anggap baik oleh mereka ialah tidak menggauli istrinya dari belakang. Adapun penduduk kampung sekitar Quraish (Makkah) menggauli istrinya dengan segala keleluasannya. Ketika kaum muhajirin (orang Makkah) tiba di Madinah salah seorang dari mereka kawin dengan seorang wanita ansar (orang Madinah). Ia berbuat seperti kebiasaannya tetapi di tolak oleh istrinya dengan berkata: “kebiasaan orang sini, hanya menggauli istrinya dari muka.” Kejadian ini akhirnya sampai pada nabi saw, sehingga turunlah ayat tersebut di atas yang membolehkan menggauli istrinya dari depan, balakang, atau terlentang, asal tetap di tempat yang lazim.[10]

Urgensi Memahami Asbab al-Nuzul

Dalam penafsiran Al-Qur’an, salah satu teori yang paling penting untuk diketahui dan dikaji adalah terori Asbab al-Nuzul. Bahkan pembahasan mengenai Asbab al-Nuzul ini disendirikan oleh ulama’ dalam kitabnya, para ulama’ terdahulu mengarang suatu kitab yang mana semua pembahasannya ialah mengenai sebab turunnya ayat. Karya para ulama yang terkenal diantaranya ialah karya Syaikh Ali bin al-Madini (guru Imam al-Bukhari), karya Imam al-Wahidi yang berjudul “Asbab al-Nuzul”, Karya Imam al-Ja’bari, karya Syaikh Ibnu Hajar dan yang terakhir yaitu kitab “Lubab al-Nuqul” karya Syaikh al-Suyuthi.
 
Adapun beberapa faedah mengkaji Asbab al-Nuzul yang telah dicanangkan oleh para ulama’ dalam kitabnya ialah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui hikmah yang terkandung dalam disyari’atkannya suatu hukum

2. Mengkhususkan suatu hukum yang sifatnya umum. Namun, hal ini bagi ulama’ yang berpendapatbahwa jika terdapat ayat yang turun maka hukum yang diambil adalah mengacu pada keumuman suatu lafal.

3. Untuk memahami makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Syaikh Qusyairi menyatakan bahwa teori Asbab al-Nuzul adalah suatu metode yang sangat kuat untuk mengetahui makna-makna yang tersirat atau tersurat dalam Al-Qur’an

4.  Apabila terdapat suatu lafal yang umum kemudian, dikhususkan dengan dalil yang lain maka menurut ulama’ tidak diperbolehkan untuk mengecualikan adanya Asbab al-Nuzul karena Ia (Asbab al-Nuzul) dapat memberikan suatu kepastian[11]

Oleh sebab itu, dapat kita tarik kesimpulan bahwa memahami Asbab al-Nuzul memanglah sangat penting dalam dunia penafsiran. Namun selain faedah-faedah yang telah disebutkan di atas, jika kita mengacu pada kitab yang lain maka terdapat tambahan faedah lain atau dapat juga dikatakan sebagai fungsi. Diantaranya bahwa mengetahui Asbab al-Nuzul ialah untuk menolak suatu pemikiran yang dangkal. Salah satu contoh dalam pembahasan ini yaitu peristiwa tentang makanan halal dan makanan haram yang terjadi diantara orang-orang kafir terdahulu. Mereka menghalalkan sesuatu yang diharamkan dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt. Sehingga, untuk menolak dan menepis pemahaman yang salah diantara mereka maka, Allah swt turunkan ayat:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: ‘Tidak kudapati di dalamnya apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Tetapi, barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka, sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang’” (Q.S al-An’am [6]: 145).

 Asbab al-Nuzul ayat ini yaitu sebagaimana yang diceritakan oleh Abdun bin Hamid dari Thaus, ia berkata “Sesungguhya orang-orang jahiliyah terdahulu, mereka mengharamkan sesuatu dan mengahalalkan sesuatu (sekehendaknya mereka sendiri). sehingga, turunlah ayat ‘Katakanlah: ‘Tidak kudapati…’”. Jika dilihat dari segi munasabahnya maka, ayat ini ialah sebagai tegoran dari Allah swt kepada orang-orang Arab (Jahiliyah) terdahulu yang mana mereka mengharamkan dan menghalalkan beberapa makanan sekehendak mereka sendiri tanpa dibuktikan dengan dalil yang kuat. Sehingga, melalui ayat tersebut Allah swt seakan-akan menyatakan bahwa suatu keharaman dan kehalalan terhadap makanan dianggap tidak legal kecuali telah ditentukan melalui wahyu.[12] Selain itu, dengan memahami Asbab al-Nuzul maka,kita juga dapat menghilangkan suatu kemusykilan dan membawa kita untuk memahami ayat lebih dalam. Salah satu contoh mengenai hal ini yaitu surat al-Maidah ayat 93 yang berbunyi:

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik

 Jika dipahami secara lurus-lurusan, maka bisa saja terbesit dalam pikiran kita bahwa ayat ini ialah sebagai dalil terhadap diperbolehkannya beberapa makanan yang diharamkan untuk dimakan dengan catatan terus-menerus bertakwa, beriman serta melakukan amal salih. Namun, jika dilihat dari segi sebab turunnya ayat maka ayat ini diturunkan terhadap sahabat Nabi Muhammad saw yang bertanya tentang saudaranya kepada Nabi bahwa saudaranya telah meninggal dan ia meminum khamer sebelum diturunkannya ayat yang menjelaskan tentang keharamnnya meminum khamer. Sehingga, untuk merespon pertanyaan sahabat tersebut maka, Allah swt turunkan ayat tadi kepada Rasulullah saw bahwa seseorang yang meminum khamer sebelum diturunkannya ayat yang menjelaskan tentang haramnya khamer maka, ia tidak berdosa.[13]

Di sinilah pentingnya memehami Asbab al-Nuzul ayat Al-Qur’an. Dengan begitu kita tidak hanya terpaku untuk memahami ayat hanya dengan mengandalkan teksnya saja namun, melalui Asbab al-Nuzul kita juga dapat mengetahui konteks dari turunnya ayat Al-Qur’an sehingga, kita lebih hati-hati dalam memahai atau menafsirkan suatu ayat.

Perbincangan Ulama’ Mengenai Kaidah al-Ibrah bi Umum al-Lafdi aw bi Khusus al-Sabab

Salah satu perbincangan yang menarik diantara para ulama’ yang berkenaan dengan tema Asbab al-Nuzul ini yaitu mengenai kaidah “al-Ibrah bi Umum al-Lafdi aw bi Khusus al-Sabab” yakni apakah dalam memahami suatu ayat dalam Al-Qur’an berdasarkan lafalnya yang bersifat umum atau berdasarkan kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an dan bukan redaksionalnya yang umum? Lebih jelasnya, dalam Al-Qur’an terkadang ayat yang diturunkan lafalnya bersifat umum namun, sebagai respon untuk suatu peristiwa tertentu pada waktu itu. Maka, manakah yang dijadikan landasan untuk memahami ayat tersebut apakah dari segi redaksinya yang bersifat umum atau dari segi sebab-musabbab turunnya ayat tersebut (khusus)? 
 
Dalam pembahasan ini ulama’ berbeda pendapat, ada yang menyatakan bahwa yang dijadikan landasan untuk memahami makna ayat Al-Qur’an ialah berdasarkan redaksinya yang umum, tidak hanya terpaku pada peristiwa sebab turunnya ayat dan ada juga ulama’ yang menyatakan bahwa yang dijadikan patokan untuk memahami ayat Al-Qur’an adalah kasus penyebab turunnya ayat tersebut. Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa terdapat dua pendapat diantara para ulama’ yaitu “al-Ibrah bi Umum al-Lafdi la bi Khusus al-Sabab” (yang digunakan dalam memahami ayat Al-Qur’an adalah redaksinya yang bersifat umum dan bukan khusus terhadap kasus yang menjadi sebab turunnya) dan “al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la bi Umum al-Lafdi” (yang digunakan dalam memahami ayat Al-Qur’an adalah kasus yang menjadi sebab turunnya bukan redaksinya yang sifatnya umum). 
 
Namun, menurut Imam al-Suyuthi dalam “al-Itqan” menyatakan bahwa pendapat yang paling sahih dalam pembahasan ini yaitu pendapat ulama’ yang mengatakan memahami ayat Al-Qur’an ialah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum.[14] Alasan ulama’ yang menyatakan bahwa yang menjadi patokan dalam memahami ayat ialah kasus yang melatarbelakangi turunya ayat yaitu karena suatu lafal yang umum merupakan petunjuk atau dalil terhadap suatu sebab yang menjadikannya khusus.

Adapun salah satu contoh penerapan kaidah yang menyatakan bahwa untuk memahami ayat berdasarkan redaksinya yang umum yaitu ayat yang menjelaskan tentang li’an, Allah swt berfirman:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8)

“Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar” (Q.S al-Nur [34]: 6-8)

 

Jika dilihat dari segi Asbab al-Nuzul-nya maka sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari melalui jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a, sahabat Hilal bin Umayyah telah menuduh istrinya berzina kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau menanyakan “Apakah ada bukti, jika tidak ada maka, pungungmu akan didera?  Hilal pun menyatakan “Wahai Rasulullah salah satu diantara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya, apakah dia harus mencari bukti?” Rasulullah saw menjawab “Iya harus ada bukti, jika tidak maka punggungmu akan didera (had)”. Kemudian sahabat Hilal bersumpah “Demi dzat yang yang mengutusmu dengan kebenaran sesungguhnya aku adalah orang yang jujur dan bersungguh-sungguh akan menurunkan apa yang menyelamatkanku dari dera (had)” Lalu turunlah ayat tersebut.[15] 
 
Ayat ini turun karena peristiwa tuduhan Hilal bin Umayyah kepada Rasulullah bahwa istrinya dituduh telah berzina dengan laki-laki lain. Akan tetapi hukum yang diambil dari redaksi yang umum ini juga bisa diterapkan terhadap kasus yang sama seperti kisah Hilal bin Umayyah tersebut. yakni apabila seorang suami menuduh istrinya telah berzina kemudian istrinya mendustakan tuduhan tersebut maka, suami yang menuduh dijatuhi hukuman had (cambuk) kecuali jika si suami dapat mendatangkan saksi (bukti) atau mereka saling melaknat (li’an) yang salah satu dampak dari li’an ini adalah antara suami dan istri bercerai.[16]

Kesimpulan

Asbab al-Nuzul secara istilah yaitu turunnya ayat atau beberapa ayat karena adanya suatu peristiwa yang melatarbelakanginya atau karena untuk menjawab suatu pertanyaan oleh sahabat kepada Nabi Muhammad. Dalam Al-Qur’an, tidak semua ayat-ayatnya memiliki Asbab al-Nuzul. Adapun ciri-ciri ayat yang tidak memiliki Asbab al-Nuzul yaitu ayat-ayat yang menjelaskan tentang keimanan, akidah, hari kiamat dan lain sebagainya. Dan perlu diketahui bahwa dari segi bentuknya, Asbab al-Nuzul ialah dibagi menjadi tiga; bagian pertama dan kedua dapat dijadikan indikasi bahwa suatu ayat memang memiliki Asbab al-Nuzul tanpa diragukan yakni yang redaksinya terdapat lafal (سبب نزول هذه الأية) dan lafal (فانزل الله)   atau (فنزلت) maka, dapat dinyatakan bahwa ia memang Asbab al-Nuzul dari suatu ayat. Dalam dunia penafsiran atau untuk memahami ayat Al-Qur’an maka, Asbab al-Nuzul adalah metode yang sangat efektif untuk digunakan. Menurut ulama’ Asbab al-Nuzul memiliki beberapa faedah diantaranya yaitu untuk mengetahui hikmah yang terkandung dalam disyari’atkannya suatu hukum, mengkhususkan suatu hukum yang sifatnya umum. Namun, hal ini bagi ulama’ yang berpendapat bahwa jika terdapat ayat yang turun maka hukum yang diambil adalah mengacu pada keumuman suatu lafal, untuk memahami makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan yang terakhir yaitu dapat memberikan suatu kepastian terhadap suatu ayat. Namun, terkait dengan memahami makna Al-Qur’an, terdapat kontradiksi diantara beberapa ulama mengenai kaidah al-Ibrah bi Umum al-Lafdi aw bi Khusus al-Sabab (Apakah yang dijadikan landasan untuk memahami ayat Al-Qur’an karena redaksinya yang umum atau karena berlandaskan kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut?) maka, dalam hal ini ulama berbeda pendapat ada yang mengatakan yang dijadikan patokan ialah redaksinya yang umum dan ulama’ lainnya berpendapat yang dijadikan patokan yaitu kasus yang melatarbelakangi turunya ayat.


Daftar Pustaka

[1] Mana’ al-Qathan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2000), 78.

[2] Subhi Salih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Beiru: Dar al-Ilmi, 2000), t. hlm.

[3] Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 76.

[4] Mana’ al-Qathan, Mabahis fi> Ulum…, 73.

[5] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2008), 71.

[6] Ajahari, Ulumul Qur’an (Sleman: Aswaja Presindo 2018), 56. Dalam Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm. 90-91.

[7] Puan Suadi, “Asbabun Nuzul: Pengertian, Macam-Macam, Redaksi dan Urgensi” dalam al-Mufida ‘(No. 1, Vol. 1 juli-Desember 2016)

[8] Ibid..., 116. dalam Qamaruddin Shaleh dan. M. D. Dahlan, Dkk, Asbabun Nuzul, Cet. 10 (Bandung: Diponegoro, 2004),  182

[9] Ibid…, 117.

[10] Ibid…, 117. Dalam Jalaluddin as-Suyuthi. Asbabun Nuzul. Alih Bahasa oleh Tim Abdul Hayyie, Sebabsebab Turunnya al-Qur’an. (Jakarta: Gema insani, 2008), h. 95

[11] Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), 22.

[12] Wahbah Zuhaili, al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’at wa al-Minhaj, Vol. 8 (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 78.

[13] Muhammad Abdul Mun’im, al-Aslan fi> Ulum al-Qur’an (t.tp: Huquq al-Thab’i Mahfudhah li al-Muallif, 1996), 139.

[14] Al-Suyuthi, al-Itqan fi…, 73.

[15] Al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi> Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, t.th), 152.

[16] Aris Bintania “Sumpah Li’an Dan Mekanismenya Di Pengadilan Agama Dalam Perspektif Fikih dan Hukum Positif” dalam Perada (No. 2, Vol. 2 Desember 2019), 144.

Post a Comment for "Makalah Asbab Al-Nuzul Dan Kaidah Al-Ibrah bi Umum al-Lafdzi aw bi Khusus al-Sabab"