Kehadiran yang Menyingkap dan Kepergian yang Membekas
Beberapa mingu yang lalu, seorang teman dari pulau seberang menelpon, namanya Aril. Melalui telpon itu ada beberapa hal yang ia sampaikan, mulai dari basa-basi menanyakan apa kabar, ada di mana dan hal-hal yang berkaitan dengan keadaan. Entah, mungkin karena kami sudah lama tidak bertemu, sekitar satu tahun lebih lamanya. Aku berhenti sejenak, menghirup nafas dalam-dalam serta menghembuskannya di sela-sela jendela rumah setelah si Aril langsung to the point mengataka “Kak, aku minta bantuan boleh? Jemput sepupu perempuanku di Surabaya soalnya di Sapeken ga ada kapal yang mau ke pelabuhan Kalianget?” Kalimat itu membuatku tertegun, menarik nafas dan menelan ludah karena terkelu saat ku dengar.
Entah, siapa perempuan itu. Aku tak pernah mengenalnya, melihatpun belum pernah sama sekali. Anehnya, mengapa Aril langsung mempercayaiku begitu saja, apakah dia tidak kepikiran dan kawatir nantinya. Ku lihat layar Hp, berfikir sejenak, entah mau jawab bagaimana. Ruang basa-basi terlebih dulu pun terbuka, “Kira-kira jemputnya kapan ya ril, klo misalnya keburu-buru, kemungkinan besar aku ga bisa!” Tanyaku ke Aril. “Besok hari jum’at kak jemputnya. Tapi kalau sampean ndak bisa nanti saya kabari lagi pastinya itu kapan!” Dari jawaban itu, seakan tidak ada beban sama sekali Aril mengataknnya, sama sekali tak ada kecemasan.
Satu hari kemudian, tepatnya pada jum’at malam sabtu, Aril mengirim gambar berjudul “Rute dan Jadwal Kapal”. Tepat pada jam 11: 00 WIB, Hp berdering, terdengar keras di saat malam sedang sunyi dan tentram. Aku memang belum tidur bahkan setiap hari jarang tidur awal karena aku mencintai suasana malam, hening dan menentramkan. Apalagi ketika hati mulai bersendu karena faktor keadaan, ternyata bersemayam dalam malam adalah solusi efektif menepis segala kesedihan. “Itu kak, saya kirim ke jenengan rute dan jadwal kapal yang mau berangkat dari Kalianget ke pulau Sapeken, berangkatnya besok Senin sekitar jam 7 an” Ujar Aril.
Apa aku tolak atau terima saja tawaran Aril itu? Guman hati kecilku waktu itu. Ah, tapi tidak apa-apalah sesama orang Sumenep saja, juga menimbang perkataan Aril waktu aku ditelpon. Kalau sepupunya tidak pulang sekarang, kemungkinan besar dia tiak bisa pulang dari Surabaya hingga lebaran usai. Ini masalah serius. Jauh dari keluarga sungguh sangat memilukan, apalagi waktu lebaran tiba. Akhirnya dengan tegas aku jawab, “Oke Ril, besok senin aku jemput!” Sebelum telepon kami berakhir, aku lupa kalau dari pelabuhan Kalianget ke pulau Sapeken itu sangat jauh, sekitar satu hari setengah baru sampai, jika aku jemput senin kasian dia capek. “Besok Sabtu aja kak jemputnya. Biar anaknya bisa istirahat dulu di rumah jenengan. Soalnya dia juga mabukan ketika naik bis atau pas naik kapal!” Keluh Aril waktu itu. “Oke deh kalau gtu” Jawabku pada Aril.
“”
Usai salat Subuh, ku siapkan semua barang yang mau dibawa ke Surabaya. Pagi yang cerah. Terlihat sisa-sisa percikan air di depan rumah, hujan menyelimuti kota Sumenep malam itu, membuat suasana pagi lebih sejuk dan menenangkan. Aku pun berangkat pada jam 7:20 WIB, menaiki bis Akas dengan ongkos sekitar 70 ribuan. Untuk sampai ke Surabaya, membutuhkan waktu lima jam lebih tetapi waktu itu di Bangkalan macet panjang akhirnya jadwal tiba yang kurencanakan melesat jauh. Aku sampai di Surabaya pada jam 12:15 WIB, berhenti dan turun di Jalan Kendiding Lor No. 99, di tempat asrama sepupu perempuan Aril.
Siang itu, aku langsung menelpon teman agar menjemputku dan menuju rumahnya terlebih dulu, salat dan istirahat sebentar. Kemudian, menjemput sepupu Aril di asramanya dan kami berdua (aku dan sepupu Aril) pamit pulang ke Sumenep pada jam 3: 30 WIB. Sebelum keberangkatan, kami berdua sangat jarang mengobrol, mungkin karena baru bertemu. Tetapi aku terus mencoba mencairkan keadaan agar tidak jenuh. Dia tidak banyak bicara, lugu dan sangat sopan berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya Ya Tuhan apa yang harus aku perbuat. Begitulah bisik hatiku saat memandangnya. Kami pun berangkat pulang setelah bis yang dinanti sudah muncul dari selatan.
Di dalam bis, kami duduk berjauhan, dia duduk di depan dekat dengan sopir dan aku di belakang karena memang pada waktu itu penumpang sangat padat. Jarak itu membuatku gelisah, mulai kepikiran dengan keadaannya apakah baik-baik saja atau mulai muntah-muntah. Terlebih ketika seorang perempuan didekatnya memintakan kantong plastik ke kernet bis. Jalan semakin gelap, setiap penumpangpun mulai banyak yang turun. Akhirnya, aku memilih untuk menengoknya di kursi depan. Benar dugaannku, dia tadi muntah karena tidak terbiasa naik bis. “Kepalaku pusing kak Andre, tadi aku muntah-muntah” Bilangnya kepadaku dengan suara lembut. Ku sodorkan minuman dan roti tapi dia menolaknya, kawatir muntah lagi. Setelah melewati perjalanan jauh itu, kami sampai di Sumenep pada pukul 9:00 WIB, menelpon ayah dan keluarga lainnya agar kami dijemput di pasar Saronggi.
“”
Sesampainya di rumah, dia disambut hangat oleh keluargaku. Pertama kali ditanyakan pasti namanya dan yang paling ingin tahu itu pasti Ibuku. “Namaku Ilen bu dari Sapeken” Akhirnya dia angkat bicara walau sebenarnya malu. Malam itu dia menginap di rumahku hingga Senin, di mana hari itu kapal menuju Sapeken akan berlabuh di Kalianget.
“Len, katanya kakak kamu, kamu ndak bawa jaket ya? Gimana nanti kalau di kapal, apa ndak takut masuk angin?” Tanyaku waktu sebelum sarapan pagi di hari minggu. Mumpung belum berangkat aku kasih saran dia agar beli jaket dulu di kota sembari jalan-jalan melihat pemandangan kota karena walaupun Sapeken itu termasuk wilayah Sumenep tapi banyak yang belum tau seperti apa suasana kotanya, terutama si Ilen ini.
Tepat pada jam 9:00 WIB kami berangkat menuju kota, menyusuri jalan dengan seribu pemandangan di kanan-kirinya. Dibelakangku, Ilen melihat pemandangan itu, pemandangan dan suasana yang belum dia ketahui. “Len coba kamu lihat pemandangan di kanan-kiri jalan, pasti kamu suka kan?” Tanyaku padanya. “Iya kak” Jawab Ilen disertai anggukan dan senyuman. Pohon cemara yang menjuntai, tambak garam yang sangat luas serta bukit-bukit di arah kanan adalah pemandangan yang sangat eksotis, semua itu terasa sangat sempurna saat ku tatap senyumannya. Mungkin inilah awal tersingkapnya rasa dalam jiwa.
Sesampainya di kota, aku bawa dia ke toko baju tapi belum ada yang cocok. Akhirnya, ku antar dia ke toko yang lain. Toko itu tepat berada di depan Taman Bunga (TB) Sumenep, dekat dengan Masjid Agung Sumenep. Setelah ku tanya, bener dugaanku dia belum pernah ke sini. Di toko itulah dia menemukan dan membeli jaket yang sesuai dengan seleranya.
Tak lama kemudian, terdengar suara rintikan air jatuh, lambat laun suara itu lebih keras. Itu menandakan hujan semakin deras mengguyur kota dan seisinya. “Duduk sini dulu mas” Penjaga toko dengan hangat menyapa dan menyuruh kami berdua duduk di kursi depan tokonya, di lantai dua. Setelah hujan mulai reda, namun masih gerimis berkepanjangan, aku ajak Ilen turun ke bawah barangkali di sana ada tempat duduk sambil menunggu cuaca cerah untuk pulang. Ternyata, di sana tidak ada kursi dan mau tidak mau kami berdua harus duduk di lantai toko. “Len kamu suka lagu apa?” Seketika kalinat itu ku ucapkan. Memang dia pendiam tapi aku terus berusaha mencairkan suasana agar tidak kaku. “Aku suka lagu Arab kak, judulnya Syuwayya!” jawab dia sambil tersenyum, tersipu malu di pinggirku. Entah, aku sangat senang waktu berada di sampingnya, canda-tawa, senyuman manis darinya membuatku luluh. Aku tidak tahu apa yang telah menusuk relung hati ini. Rasa itu mulai terus tersingkap lebar serta menyapu kesedihan-kesedihan terdahlu, terlebih di saat gerimis melanda, semua itu membuat suasana terasa sempurna. Kami berdua cukup lama berada di sana, obrolan terus mengalir. Ku pikir dia akan tidak menyukai suasana seperti ini namun, aku salah. Ternyata selain dia murah senyum, juga sangat menyenangkan ketika diajak ngobrol.
“”
Semua itu terasa sangat cepat berlalu. Kekhawatiran akan kepergiannya membuat suasana begitu menderita. Aku tenggelam dalam suasana itu. Senin pagi itu, sebelum kuantar dia ke pelabuhan. Aku ingat, kalau aku menyimpan cincin kayu. Tiga bulan lalu aku beli di Ampel. “Aku ingin dia memilikinya” Bisik hatiku waktu itu. Tepat pada jam 6:30 WIB kuantar dia ke pelabuahan Kalianget. Karena jalan menuju Kalianget satu jalur dengan jalan menuju kota, pastinya kami melihat pemandangan-pemandangan yang disebutkan tadi. Masih dengan jawaban yang sama ketika Ilen ditanyaiku “Iya kak, indah” Sambil tersenyum merunduk.
Sesampainya di pelabuhan, kami disambut oleh hujan, cukup deras namun hanya sebentar. “Len, beli tiket dulu yuk!” Ujarku padanya. “Ok kak” Jawab Ilen sambil tersenyum. Seperti yang ku bilang dia murah senyum. Ketika kami sampai di tempat pembelian tiket, ternyata sudah ditutup. Entah mengapa, mungkin karena penumpang sudah padat. Akhirnya, menelpon orang Sapeken yang juga mau mengikuti kapal itu, dia tetangga Ilen. Aril yang memberikan nomer Hp-nya padaku. Tiga menit kemudian, Ilen bertemu dua anak perempuan, mereka ternyata temannya yang mondok di luar pulau. Ibunya mereka berdualah yang aku telepon tadi.
Dengan wajah yang lugu dan senyumaan yang manis, Ilen berkata lembut padaku, “Kak tolong bawain barangku ya!” Ya Tuhan, mana bisa aku tolak perkataan itu, pasti aku menurutinya. Sungguh hatiku terpukau. Barang itu kuantar ke pinggir kapal menemui ibu dari kedua temen Ilen itu. Entah apa yang saat ini kurasakan, begitu berat membiarkannya pergi, aku masih ingin bersamanya seperti dua hari-hari yang lalu. “Len, aku punya sesuatu buat kamu!” Hatiku berdebar-debar waktu mengucapkannya, juga dilanda keraguan entah apakah ia akan menerima pemberian ini atau tidak. Ku ambil cincin kayu itu dari celana, pelan-pelan ku berikan padanya. “Ni kenang-kenangan buat kamu” Ujarku. Ilen terdiam sejenak.
Deraian ombak, dermaga dan kapal besar waktu itu menjadi saksi bisu tentang pemberian itu. “Makasih kak” Seketika itu dia tersenyum, terasa sangat gembira melihatnya. Sungguh senyuman yang sangat indah itu, yang menyapu luasnya samudera tidak akan pernah kulupakan. Begitu menyentuh ke ke dalam relung hati yang sangat dalam. Perlahan kakiku meningglkannya, walau terasa pahit untuk dirasa tapi, terus kupaksakan kaki ini untuk berjalan walaupun sebenarnya rasa melarang.
Setelah kepergian itu, aku lebih banyak merenung. Memikirkan bagaimana keadaannya di sana. Sungguh kepergiannya sangat membekas di dalam hati. Aku hanya bisa berdoa pada Tuhan, berharap semoga suatu saat nanti bisa berjumpa kembali bersamanya, dengan senyuman, rasa dan Ilen yang sama seperti waktu itu.

Post a Comment for "Kehadiran yang Menyingkap dan Kepergian yang Membekas"