Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perbedaan Haji dan Umrah

 

Perbedaan Haji dan Umrah

Ibadah haji merupakan rukun kelima dari lima rukun Islam. Secara etimologi haji berarti menyengaja atau bermaksud melakukan sesuatu. Sedangkan secara terminologi adalah menyengaja menuju Ka’bah untuk melaksanakan ibadah tertentu. Haji merupakan ibadah yang diserap dari syari’at para nabi terdahulu (Syar’u man qablana). Hal ini dapat dibuktikan dari satu riwayat bahwa Nabi Adam a.s pernah melaksanakan haji dari India sebanyak 40 kali dengan berjalan kaki, bahkan menurut Ibnu Ishaq Allah swt tidak mengutus seorang Nabi setelah Nabi Ibrahim kecuali ia pernah melaksanakan haji.

Syekh Zainuddin al-Malibari berkata:

قال ابن إسحاق: لم يبعَث اللّهُ نبياً بعدَ إبراهيمَ عليهِ الصّلاةُ والسّلامُ إلاّ حَجّ.

“Ibnu Ishaq berkata ‘Allah tidak mengutus seorang Nabi setelah Nabi Ibrahim a.s kecuali ia melakukan haji,’” (Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in, Maktabah Syamilah, Juz I, Halaman 202).

Sementara umrah secara bahasa dapat diartikan berziarah ke tempat ramai atau berpenghuni, dan menurut istilah adalah menyengaja menuju Ka’bah untuk melaksanakan ibadah tertentu. Adapun perbedaan dan persamaan antara keduanya dapat dipetakan dengan beberapa ketentuan sebagaimana di bawah ini.

1. Hukum

Ibadah haji dan umrah merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Keduanya memiliki banyak persamaan dari segi syarat wajib, syarat sah, kesunnahan, hal-hal yang membatalkan, dan perkara-perkara yang diharamkan saat melakukan dua ibadah tersebut. Kendati demikian, keduanya juga memiliki beberapa titik perbedaan. Berikut ini penjelasannya.

Pada dasarnya, haji merupakan ibadah yang wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib haji, hal ini berdasarkan firman Allah swt:

 ولِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ

 “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah.” (QS Ali Imran [3]: 97).

Adapun dalil sunnah mengenai kewajiban haji ialah dari Ibnu Umar:

بُني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وحج البيت، وصوم رمضان

“Islam didirikan atas lima hal: bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah swt dan sesungguhnya Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah, mendirikan shalat, melaksanakan zakat, haji ke Baitullah dan puasa Ramadhan,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Dari ayat dan hadits di atas ulama merumuskan bahwa hukum berhaji adalah wajib dan tergolong persoalan al-mujma’ ‘alaihi al-ma’lum min al-din bi al-dlarurah (yang disepakati hukumnya oleh seluruh mazhab dan diketahui oleh semua kalangan, baik orang awam dan khusus). Oleh karena itu, seseorang yang mengingkari kewajiban haji maka ia dihukumi murtad (keluar dari Islam), kecuali bagi orang yang sangat awam, jauh dari informasi keagamaan. Syekh Khathib al-Syarbini berkata:

وهو إجماع يكفر جاحده إن لم يخف عليه


“Kewajiban haji telah disepekati oleh para ulama, kufur orang yang mengingkarinya bila kewajiban haji tidak samar baginya.” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th] hal. 206).

Sedangkan hukum melaksanakan ibadah umrah diperselisihkan oleh para ulama. Menurut pendapat al-Azhhaar (yang kuat) hukumnya wajib, hal ini berdasarkan firman Allah swt:

 وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah,” (QS al-Baqarah [2]: 196).

Dan hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah radliyallahu ‘anh:


عن عائشة قالت قلت يا رسول الله هل على النساء جهاد؟ قال: نعم، جهادٌ لا قتال فيه؛ الحج والعمرة

“Dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anh, beliau bertanya ‘Wahai Rasulullah apakah wajib bagi para perempuan untuk berjihad?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, jihad yang tanpa adanya peperangan yakni melakukan haji dan umrah,” (HR. Ibnu Majah dan al-Bihaqi).

Sementara menurut pendapat muqaabil al-Azhhaar (yang lemah), hukum umrah adalah sunnah. Syekh Muhammad al-Zuhri al-Ghamrawi menegaskan:

 وكذا العمرة فرض في الأظهر ومقابله أنها سنة

“Demikian pula umrah, hukumnya fardlu menurut qaul al-Azzhar. Sedangkan menurut pendapat pembandingnya, umrah adalah sunnah.” (Syekh Muhammad Zuhri al-Ghamrawi, al-Siraj al-Wahhaj [Beirut: Dar al-Ma’rifah], halaman 151).

Pendapat yang menyatakan sunnah ialah berlandaskan kepada beberapa dalil, di antaranya hadits:

 سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن العمرة أواجبة هي قال لا، وأن تعتمر خير لك

“Nabi Saw pernah ditanya mengenai umrah, apakah umrah wajib? Beliau menjawab tidak wajib, dan ketika kau umrah maka itu lebih baik bagimu.” (HR. al-Turmudzi).

Sementara itu Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menyatakan bahwa para pakar hadits sepakat bahwa hadits al-Tirmidzi di atas adalah lemah (dha’if), bahkan Ibnu Hazm menyatakan hadits tersebut adalah bathil. Syekh Abdul Hamid al-Syarwani berkata:

قوله: (وخبر الترمذي الخ) عبارة الاسنى والمغني وأما خبر الترمذي عن جابر سئل النبي (ص) عن العمرة أواجبة هي قال: لا وإن تعتمر خير لك فضعيف قال في المجموع اتفق الحفاظ على ضعفه ولا يغتر بقول الترمذي فيه حسن صحيح وقال ابن حزم إنه باطل قال أصحابنا ولو صح لم يلزم منه عدم وجوبها مطلقا لاحتمال أن المراد ليست واجبة على السائل لعدم استطاعته

“Ungkapan yang terdapat dalam kitab al-Nihayah dan al-Mughni 'Sedangkan haditsnya al-Turmudzi dari Jabir bahwa Nabi saw pernah ditanya mengenai umrah, apakah umrah wajib? Nabi saw menjawab tidak, dan kalau kamu umrah maka lebih baik bagimu.’ Hadits at-Turmudzi tersebut adalah hadits yang lemah (dhaif). Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata bahwa para hafidz hadits sepakat akan status lemahnya hadits tersebut dan janganlah sampai terbujuk oleh ungkapan al-Turmudzi bahwa hadits itu adalah hasan shahih. Syekh Ibnu Hazm mengatakan bahwa hadits itu adalah salah (bathil). Beberapa pengikut Imam al-Syafi’i berkata andai saja hadits itu shahih, maka tidak lantas memastikan ketidakwajiban umrah secara mutlak, sebab kemungkinan yang dikehendaki adalah tidak wajib bagi si penanya karena tidak adanya kemampuan berangkat umrah.” (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hawasyi al-Syarwani, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, juz 5, hal. 6).

 

 Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik disimpulkan bahwa kewajiban haji adalah disepakati oleh seluruh ulama, sementara umrah masih diperselisihkan.

2. Rukun

 

Rukun adalah ritual tertentu yang menjadi penentu keabsahan haji atau umrah (batal bila tidak dilakukan), dan tidak bisa diganti dengan dam (denda). Rukun haji ada lima yaitu niat ihram, wuquf di Arafah, tawaf, sa’i, dan memotong rambut. Sedangkan rukun umrah hanya ada empat, niat ihram, tawaf, sa’i dan memotong rambut.

Imam Sirajuddin dalam kitabnya “al-Tadzkirah” berkata:

التذكرة (ص: 80(

وأركان الحج خمسة : الإحرام والوقوف والطواف والسعي والحلق وأركان العمرة ذلك ما عدا الوقوف

 

“Rukun-rukun haji ada lima, yaitu niat ihram, wuquf di Arafah, tawaf, sa’i dan memotong rambut.Sementara rukunnya umrah adalah sama kecuali Wuquf di Arafah” (Imam Sirajuddin, Al-Tadzkirah, Maktabah Syamilah, Halaman 80).

 

Dari referensi di atas dapat diketahui bahwa haji dan umrah berbeda pada satu rukun yaitu wuquf di Arafah yang hanya menjadi rukun haji, tidak pada umrah.

3. Waktu Pelaksanaan

Haji memiliki durasi waktu pelaksanaan yang lebih sempit daripada umrah. Waktu pelaksanaan haji hanya terbatas pada rentang waktu mulai dari awal bulan Syawal sampai subuhnya hari raya Idul Adlha (10 Dzulhijjah). Sedangkan umrah bebas untuk dilaksanakan kapan saja. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi al-Bantani berikut ini:


والوقت وهو في الحج من ابتداء شوال إلى فجر يوم النحر وفي العمرة جميع السنة

“Dan waktu dalam haji adalah mulai dari permulaan bulan Syawal sampai munculnya fajar hari raya Idul adha (Yaumu al-nahr) dan umrah bisa dilakukan di sepanjang tahun. (Abu Abdil Mu’ti Muhammad Nawawi Bin Umar al-Jawi al-Bantani, Nihayah al-Zain, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], hal. 201).

4. Kewajiban

Kewajiban haji dan umrah merupakan rangkaian ritual manasik (ibadah) yang apabila kewajiban tersebut ditinggalkan maka, tidak dapat membatalkan haji atau umrah, namun wajib diganti dengan denda (dam).

Haji memiliki lima kewajiban, yaitu niat ihram dari miqat (batas area yang telah ditentukan menyesuaikan daerah asal jamaah haji/ umrah), menginap (mabit) di Muzdalifah, menginap di Mina, tawaf wada’ (perpisahan) serta melempar jumrah. Sedangkan kewajiban umrah ada dua, yakni niat ihram dari miqat dan menjauhi larangan-larangan ihram. Dalam I’anatut Thalibin disebutkan:

 وأما واجبات العمرة فشيئان: الاحرام من الميقات، واجتناب محرمات الاحرام.

“Adapun kewajiban-kewajiban umrah ada dua yaitu ihram dari miqat dan menjauhi larangan-larangan ihram” (Syekh Abu Bakar al-Dimyati, I’anatut Thalibin, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], halaman 301).

Kesimpulannya, ibadah haji dan umrah memiliki perbedaan dalam empat hal yakni hukum, rukun, waktu pelaksanaan dan kewajibannya. Secara hukum, haji hukumnya wajib dan tidak ada perbedaan di antara para ulama, sedangkan umrah kewajibannya diperselisihkan. Di lihat dari segi rukun, haji dan umrah berbeda dalam rukun wuquf di Arafah yang hanya terdapat pada haji dan tidak ada dalam rukun umrah. Dari segi waktu pelaksanaan, haji lebih sempit dari pada umrah. Dalam hal kewajiban, haji mempunyai lebih banyak kewajiban dari pada umrah yang hanya terdapat dua saja.


 

 

 

Post a Comment for "Perbedaan Haji dan Umrah"