Pengertian dan Macam-Macam Terjemah Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril a.s. Adapun diantara tujuan diturunkannya Al-Qur’an ialah untuk memberikan hidayah kepada manusia sebagaimana diabadikan dalam surat al-Baqarah ayat 128. Dalam Al-Qur’an sendiri sebenarnya banyak ayat-ayat yang menjealskan tentang fungsi dari Al-Qur’an tersebut. Dengan Al-Qur’an, manusia dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang menderang.
Namun, melimpahnya hidayah atau fungsi Al-Qur’an akan dirasa sulit bagi orang-orang awam atau orang-orang yang tidak mahir dalam bahasa Arab sehingga, salah satu kunci untuk memahami Al-Qur’an adalah mengetahui bahasa Arab karena juga memandang bahwa Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab.
Karena itulah penerjemahan Al-Qur’an sangat dibutuhkan untuk diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Sehingga, dengan adanya produk penerjemahan tersebut akan memberikan kemudahan bagi masyarakat awam untuk memahami Al-Qur’an walaupun tidak begitu dalam.
Pengertian Terjemah
Secara etimologi, terjemah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti menyalin atau memindahkan suatu bahasa ke bahasa yang lain. Singkatnya disebut dengan mengalih bahasakan. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa, atau alih bahasa ke bahasa yang lain. Dalam bahasa Inggris terjemah dikenal dengan istilah translation.
Terjemah berarti menerangkan atau menjelaskan sebagaimana dalam ungkapan “tarjamah al-kalam” maksudnya adalah “bayyanahu wa wadhahahu” yakni menjelaskan suatu pembicaraan dan menjelaskan maksudnya. Lebih luasnya ulama’ al-Azhar di Mesir yaitu Muhammad Husain al-Dzahabi menyatakan bahwa kata terjemah biasanya digunakan untuk dua macam pengertian sebagaimana berikut:
1. Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, tanpa menerangkan makna bahasa asal yang diterjemahkan.
2. Menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung di dalamnya, dengan menggunakan bahasa yang lain. (Juariah Umar, 2014: 32)
Sedangkan menurut Khalil Qattan terjemah adalah:
نقل ألفاظ من لغة إلى نظائرها من اللغة الأخرى بحيث يكون النظم موافقًا للنظم، والترتيب موافقًا للترتيب.
“Memindah lafal dari suatu bahasa ke bahasa yang lain dengan cara menyesuaikan setip susunan dan urutan-urutannya” (Manna al-Qattan, 1995: 307)
Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat diformulasikan bahwa terjemah adalah upaya memindahkan atau mengalihkan bahasa ke bahasa yang lain atau disebut dengan mengalihbahasakan serangkaian pembicaraan suatu bahasa ke bahasa yang lain dengan tujuan agar dapat dipahami oleh orang-orang yang tidak mampu untuk memahami langsung bahasa asalnya.
Adapun terjemah Al-Qur’an adalah memindahkan Al-Qur’an pada bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan tersebut ke dalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat berbahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab Allah swt dengan perantara terjemah. (Ali As-Shabuni, 1991: 331)
Macam-Macam Terjemah
Pada dasarnya terjemah dibagi menjadi dua yaitu terjemah harfiyah dan terjemah tafsiriyah. Terjemah harfiyah (leterlek) lazimnya juga disebut dengan terjemah lafdziyah, yaitu terjemah yang dilakukan dengan bergantung pada susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Oleh sebab itu, disebut juga dengan terjemah leterlek. (Egi Sukma Baihaki, 2017: 50)
Kemudian, al-Dzahabi dalam tafsir wal mufassirun membagi pembagian yang pertama (terjemah harfiyah) tersebut menjadi dua varian. Pertama, terjemah harfiyah bi al-mitsl. Kedua, terjemah harfiyah bigair al-mitsl. Adapun definisi terjemah bi al-mitsl adalah terjemah yang dilakukan apa adanya, terikat dengan susunan dan bahasa asal yang diterjemahkan. Selanjutnya, terjemah harfiyah bigair al-mitsl adalah terjemah yang pada dasarnya sama seperti varian terjemah yang pertama. Namun, terjemah bigair al-mitsl ini lebih longgar keterangannya daripada susunan dan struktur bahasa yang diterjemahkan atau menerjemahkan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan mutarajjim. Namun, hasil dari terjemahan tersebut tidak boleh dikatakan nisbat kepada kitaabullah. (Al-Dzahabi, t.th: 19)
Adapun yang dimaksud dengan pembagian yang kedua dari terjemah (terjemah tafsiriyah) yaitu terjemahan yang dilakukan oleh mutarajim (penerjemah) dengan lebih mengutamakan maksud atau isi yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan. Jadi, pembagian terjemah yang kedua ini tidak hanya terikat pada susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkan.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa jika terjemah harfiyah adalah menerjemah suatu teks kebahasa yang lain dengan cara menitikberatkan atau amat terikat dengan struktur bahasa atau terjemahan ini di Indonesia dikenal dengan menyalin kata demi kata atau word for word translation (terjemah lurus). Maka, terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawi sama persis dikatakan dengan istilah terjemah dengan terjemah bebas yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan dari yang diterjemahkan.
Sebelum lanjut pada pembahasan berikutnya. Al-Dzahabi memberikan suatu penjelasan yang perlu diketahu mengenai terjemah tafsiriyah bahwa terjemah ini tetap berbeda dengan tafsir. Adapun perbedaannya, menurut beliau adalah sebagai berikut:
1. Terletak pada bahasa yang digunkan. Bahasa tafsir dimungkingkan menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa aslinya seperti ketika menafsirkan Al-Qur’an maka, bahasa yang digunakan mufassir biasanya tidak jauh beda dengan teks ayat yang ditafsirkan. Sedangkan terjemah tafsiriyah pasti menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa asli yang digunakan.
2. Dalam kitab tafsir. Ketika seseorang membacanya maka, akan dimungkinkan untuk melacak (teks) aslinya manakala terdapat keraguan di dalamnya. Berbeda dengan terjemah yang tidak mudah untuk mengecek aslinya manakala ada keraguan atau keslahan yang dijumpai.
Untuk lebih memahami kedua macam terjemahan tersebut maka, alangkah baiknya apabila kita mengetahui cotohnya. Sebagaimana dalam surat al-Isra’ ayat 29:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا (29)
Jika ayat ini diterjemahkan secara leterlek atau harfiyah maka, akan menghasilkan, “Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti menjadi tercela dan menyesal” yakni pengertiannya hanya terikat pada Allah melarang seseorang membelenggu atau mengikat tangannya di atas pundaknya. Padahal yang dimaksud dengan ayat tersebut, jika diterjemahkan secara tafsiriyah yaitu larangan bersikap pelit dalam membelanjakan harta, di samping bersikap boros.
Kemudian, al-Dzahabi dalam memberikan beberapa syarat dalam terjemah tafsiriyah:
1. Terjemahan harus mengikuti syarat-syarat tafsir yakni tidak dapat diterima kecuali berasal atau bersumber dari hadis, ilmu bahasa Arab, dan fondasi yang telah ditetapkan dalam Islam. Oleh sebab itu, seharusnya seorang penerjemah juga menghadirkan makna asal berdasarkan tafsir yang berbahasa Arab (sebagai acuan).
2. Seorang penerjemah tidak condong pada akidah yang palsu (sesat) yakni yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Sebab, apabila seorang penerjemah condong pada akidah yang rusak maka, akan berpengaruh pada pemikirannya. Sehingga, ia menafsirkan atau menerjemah Al-Qur’an sesuai dengan apa yang ia ikuti. Hal tersebut tentu jauh dari Al-Qur’an dan petunjuknya.
3. Seorang penerjemah adalah orang yang alim antara dua bahasa yakni bahasa teks dan bahasa yang digunakan untuk menerjemah.
4. Kedua bahasa tersebut ditulis dalam Al-Qur’an kemudian mendatangkan tafsirnya. Lalu, barulah melakukan terjemah tafsiriyah. Dengan demikian, terjemahan ini tidak dipahami sebagai terjemah harfiyah bagi Al-Qur’an.
Syarat-Syarat Seorang Penerjemah
Seorang penerjemah Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung jawab keislamannya dapat dipercaya.
2. Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan Alquran.
3. Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia harus mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik.
4. Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran Al-Quran dan memenuhi kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufasir.
5. Penerjemah menguasai dua bahasa, bahasa asli (bahasa sumber) dan bahasa terjemahan.
6. Menguasai gaya bahasa-gaya bahasa dan keistimewaan-keistimewaan dari kedua bahasa tersebut.
Lebih jelasnya dalam kitab “al-Ashlaan fii Uluum al-Qur’aan” dijelaskan bahwa seorang penerjemah harus berkredibilitas serta mahir dalam setiap kedua bahasa baik dari segi mufradat, tarkib, gaya bahasa atau gramatikanya. Sekiranya penerjemah dapat terhindar dari kekurangan sehingga dapat menemukan terjemahan yang sesuai dengan teks.
Sedangkan untuk terjemah harfiyah, maka wajib untuk menyesuaikan dengan bahasa yang mau diterjemahkan dan bahasa yang digunakan untuk menerjemah baik dari segi mufradat, asal kata atau isytiqaq dan dhamir. Jika seorang penerjemah tidak ahli dalam hal itu maka, terjemah harfiyah-nya tercegah. (Muhammad Abdul Mun’im, 1996: 373)
Perbedaan antara Terjemah dan Tafsir
Perlu diketahui bahwa bagaimanapun baik terjemah harfiyah atau tafsiriyah, secara mutlak bukan termasuk tafsir baik menafsirinya menggunakan bahasa asal atau bahasa lainnya. Sementara banyak penerjemah yang berasumsi yakni menyamakan antara terjemahan dan tafsiran. Mereka berpendapat bahwa terjemah tafsiriyah adalah tafsir Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa lain. Berikut perbedaannya menurut al-Zarqani dalam kitab Manahil al-Irfan:
1. Bentuk dari terjemahan bersifat merdeka maksudnya yaitu bentuk yang tetap terjaga sesuai dengan bahasa aslinya. Berdeda dengan tafsir. Adapun karakteristik tafsir yaitu memiliki korelasi dengan teks atau bahasa asalnya kemudian mendatangkan kata tunggal atau tarkibnya lalu, menjelaskan maksud dari kata atau susunan tersebut secara berkesinambungan.
2. Dalam terjemahan tidak boleh bersifat lentur atau panjang kali lebar sebab terjemahan harus sesuai dengan bentuk aslinya serta tidak boleh dikurangi (harus sama) sehingga, semisal asalnya salah maka sudah dipastikan terjemahan tersebut salah. Berbeda dengan tafsir yang wajib untuk menjelaskan lafal asalnya. Terkadang seorang mufassir juga berbeda-beda dalam menafsirkan suatu teks atau ayat. Bahkan terdapat juga penyimpangan dalam hal tersebut. Para mufassir menafsiri dengan menyesuaikan kebutuhan mereka. Hal tersebut tampak jelas tatkala mereka menafsiri suatu lafal dari sisi kebahasaan. Misalnya tatkala ada suatu lafal namun memiliki makna yang berbeda maka mufassir akan menjelaskan istilah-istilahnya. Mufassir juga menjelaskan tentang hukum yang terkandung atau dari sisi lain yang dianggap urgent. Penjelasan ini memberikan indikasi tentang sirri dalam interpretasi Al-Qur’an yang dapat terus dikaji dan digali lebih dalam dengan bermacam-macam diskursus ilmu bahasa, akidah, fikih, usul fikih, asbaab al-nuzuul, nasikh wa al-mansuukh dan dengan ilmu-ilmu lainnya.
3. Terjemah menuntut untuk memenuhi makna-makna serta apa yang dimaksud teks asalnya. Berbeda dengan tafsir yang prisnsipmya adalah dengan menyempurnakan suatu interpretasi, baik menjelaskannya dengan metode ijmali atau tafshili, baik dengan metode tersebut dapat diperoleh makna atau maksud yang terkandung atau hanya sebagian saja.
4. Terjemah biasasnya mengandung suatu kepastian bahwa segala makna dan apa yang dimaksud suatu teks yang dinukil oleh seorang penerjemah adalah ditunjukkan untuk makna asal dan memang itulah yang dikehendaki oleh lafal atau teks yang mau diterjemah. Sementara tafsir tidak demikian sebab seorang mufassir dapat dikatakan memberikan suatu interpretasi yang pasti apabila telah memenuhi beberapa syarat seperti dalil yang kuat atau sahih dan tidak dikatakan memberikan suatu interpretasi yang pasti apabila sepi dari adanya dalil atau ada namun, masih ambigu yakni ada yang belum jelas dan ada juga yang diunggulkan. sedangkan apabila seorang mufassir tidak dapat memberikan interpretasi terhadap suatu teks maka, mereka akan menafsirinya dengan, “Wallau A‘lamu bi Muradihi” seperti tatkala bertemu dengan ayat-ayat mutasyaabih dan fawaatih al-suwaar. (Al-Zarqani, 1996: 82)
Kesimpulan
Secara etimologi, terjemah memiliki arti menyalin atau memindahkan suatu bahasa ke bahasa yang lain. Adapun secara terminologi terdapat beberapa pakar ilmu Al-Qur’an yang menyebutkannya. Diantaranya ada al-Dzahabi yang mendefinisikan terjemah dengan mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, tanpa menerangkan makna bahasa asal yang diterjemahkan. Adapun terjemah Al-Qur’an adalah memindahkan Al-Qur’an pada bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan tersebut ke dalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat berbahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab Allah swt dengan perantara terjemah. Terjemah dibagi menjadi dua yaitu terjemah harfiyah yakni terjemah yang dilakukan dengan bergantung pada susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan dan terjemah tafsiriyah terjemahan yang dilakukan oleh mutarajjim (penerjemah) dengan lebih mengutamakan maksud atau isi yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan. Dalam menerjemahkan terdapat beberapa syarat bagi penerjemah sebagaimana djelaskan di atas.
Post a Comment for "Pengertian dan Macam-Macam Terjemah Al-Qur’an "