Konsep Keadilan dalam Islam
Keadilan merupakan suatu konsep yang sangat urgen dalam kehidupan manusia. Keadilan tidaklah hanya memiliki implikasi dalam ruang lingkup kajian hukum saja namun, kajian tentang keadilan ini juga bisa ditilik dari berbagai disimplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Keadilan adalah tujuan, sementara di bawahnya terdapat hukum yang merupakan alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Agama Islam yang di dalamnya mengatur tatanan masyarakat, mulai dari yang bersifat individual hingga masalah kemasyarakatan dan penalaran logis, juga menawarkan nilai-nilai yang cukup memadai. Namun, jika melihat realita yang ada, nilai-nilai keadilan tersebut belum tergali secara memadai karena di masyarakat, keagamaan dianggap hanya sekedar ritual formal saja. Dalam Islam, nilai-nilai keadilan sangat dijunjung tinggi, bagi penegak keadilan dan melakukan kebajikan di dunia, maka ia akan mendapatkan reward dari Allah swt, tidak hanya di dunia namun juga di akhirat kelak.
Definisi Keadilan dalam Al-Qur’an
Kata keadilan adalah derivasi dari kata “Adil” yang diserap dari bahasa Arab “Adl” dan kata “Adl” diambil dari kata “Adalah (عدل) yang menurut Ibnu Manzur adalah kebalikan dari kata “al-Jaur” (kekejaman/penindasan/ketidakadilan) dan bisa dikatakan adiul adalah memberikan hukum dengan benar. (Ibnu Manzur, t.th: 430)
Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa kata kunci tentang keadilan yakni “al-‘Adl”, “al-Qisth”, “al-Mizan” dan “al-Hukm” dengan berbagai variasinya. Semua kata tersebut diungkapkan dalam Al-Qur’an dengan berbagai macam bentuk, ada yang berupa kata kerja (fi’il), kata benda (isim) dan kata sifat (isim maf’ul dan isim fa’il). Kata “al-‘Adl” yang memiliki arti sama, memberikan indikasi adanya dua pihak atau lebih sebab, jika hanya pada satu pihak saja maka, tidak akan terjadi persamaan. Sementara “al-Qisth” pada dasarnya ialah bermakna bagian (yang wajar dan patut). Dalam artian, berbeda dengan “al-‘Adl” yang menuntut adanya persamaan. “Persamaan” yang merupakan kata asal dari “al-‘Adl” itulah yang dapat menjadikan pelakunya “tidak berpihak” dan pada dasarnya orang yang adil berpihak kepada kebenaran. Seseorang yang menegakkan persamaan maka, ia akan memberikan persamaan hak baik kepada yang salah atau kepada yang benar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata “al-Qisth” cakupan makna dan implimentasiannya lebih umum daripada “al-‘Adl” dan oleh sebab itu Allah swt, melalui Al-Qur’an, memerintah hambanya untuk adil terhadap diri sendiri dengan menggunakan kata “al-Qisth”, sebagaimana ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri…” (Q.S al-Nisa’ [4]: 135)
Sedangkan kata “al-Mizan” ialah berasal dari kata “Wazn” yang berarti timbangan. Oleh karenanya, mizan merupakan alat yang dijadikan untuk menimbang. Namun, dapat pula dimaknai sebagai keadilan karena bahasa seringkali menyebut alat untuk makna hasil penggunaan alat tersebut.
Keadilan yang tertuang dalam Al-Qur’an tidak hanya dalam proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang saling berselisih, melainkandi sisi lain Al-Qur’an juga menuntut adanya keadilan terhadap diri sendiri baik dalam hal berperilaku, menulis dan berkata.
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (152)
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan harta yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai usia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat (mu) dan penuhilah janji Allah. Demikian Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.”
Menurut al-Maraghi, ayat ini mengandung perintah adil dalam hal ucapan yakni mengucapkan/memberi kabar sesuai dengan fakta atau ketika hendak menghukumi sesuatu terhadap orang lain, walaupun ucapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang dekat (kerabat). Dengan keadilan akan terwujud proses perbaikan prilaku suatu umat dan masing-masing individu. Keadilan adalah suatu pondasi yang harus tetap ada dalam suatu susunan, ia merupakan dasar-dasar dalam sosial masyarakat. Artinya, orang yang mukmin dilarang untuk memihak kepada salah satu kerabat dan juga tidak kepada yang lainnya. Keadilan – sebagaimana dalam perbuatan – juga berlaku pada timbangan. Dengan demikian, perintah menegakkan keadilan bagi orang-orang yang mukmin tidak hanya dalam segi menetapkan hukum, ucapan, dan perbuatan tetapi, juga akhlak. (Al-Maraghi, 1946: 71)
Sedangkan perintah keadilan terhadap orang lain secara transparan adalah termaktub dalam Q.S al-Baqarah ayat 282 yang bunyinya sebagai berikut:
وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
“Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…” (Q.S al-Baqarah [2]: 282)
Yakni hendaknya seorang penulis catatan hutang harus orang yang adil yang memberikan persamaan antara orang-orang yang berutang dengan tidak menambahkan dan mengurangi terhadap salah satu pihak yang dicondonginya. (Al-Maraghi, 1946: 72)
Macam-Macam Keadilan dalam Islam
Ketiga istilah yang telah disebutkan di atas yakni al-Adl, al-Qisth, al-Mizan pada berbagai bentuknya digunakan Al-Qur’an dalam konteks perintah kepada manusia untuk berlaku adil. Terdapat beberapa makna keadilan yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an.
1. Adil dengan artian “sama”. Sebagaimana dalam Q.S al-Nisa’ [4]: 58 dinyatakan bahwa:
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58)
“dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah mendengar, Maha Melihat.” (Q.S al-Nisa’ [4]: 58)
Adil dalam ayat tersebut, jika diartikan “sama” maka, hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini menuntut hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang berselisih berada di dalam posisi yang sama. (Quraish Shihab, 1998: 113)
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa adil secata etimologi adalah “tengah” atau “pertengahan”. Sehingga, orang yang berkeadilan adalah orang yang sanggup berdiri di tengah tanpa secara a priori memihak.
2. Adil dalam arti “seimbang”
Suatu keseimbangan dapat ditemukan dalam sebuah kelompok yang di dalamnya mengandung beberapa sub bagian untuk menuju pada satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar bisa terpenuhi dari setiuap bagian tersebut. Dengan terpenuhinya syarat yang dibutuhkan, kelompok itu akan dapat bertahan dan berjalan memenuhi kehadiratnya.
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ (7)
“Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pengasih # yang telah menciptakan lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan) tubuhmu seimbang.” (Q.S al-Infithar [82]: 6-7)
Seandainya, terdapat salah satu anggota tubuh yang tidak sama, ada yang lebih dan ada yang kurang dari kadar atau syarat yang seharusnya maka, tidak akan terwujud keseimbangan (keadilan).
3. Adil dengan arti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya”
Adil dengan arti inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberikan pihak lain sesuai haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah “kezaliman”. dalam artian pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Lebih luas, Harun Nasution mengatakan bahwa al-Adl mengandung makna menentukan hukum dengan benar dan adil tersebut juga berarti mempertahankan hak yang benar. (Harun Nasuiton, 1998: 61)
4. Adil yang dinisbatkan kepada Ilahi
Arti dalam pembagian ini ialah “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu”. Sehingga, semua hal yang wujud tidaklah memiliki hak atas Allah. Pada dasarnya, keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak tertahan untuk diperoleh sejauh mahluk tersebut meraihnya.
Melalui pemahaman ini maka, kita juga harus memahami kandungan firman-Nya yang menunjukkan Allah swt adalah sebagai Qa’iman bi al-Qisth (yang menegakkan keadilan) seperti dalam Q.S Ali Imran [3]: 18 atau ayat lain yang mengandung arti keadilan-Nya:
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ (46)
“Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya” (Q.S Ali Imran [3]: 46)
Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam Islam memiliki makna yang sangat luas, keadilan identik dengan pekerjaan/perilaku yang baik dan bandinagnnya adalah kezaliman. Sementara Al-Qur’an, dalam menyebutkan keadilan ialah dengan beberapa term, ada term “al-‘Adl”, “al-Qisth”, “al-Mizan” dan “al-Hukm”. Jika dianalisa, masing-masing term tersebut, pada dasarnya, memiliki makna yang sama namun, pada konteks yang berbeda. Sementara yang lebih cocok untuk diaplikasikan dalam masyarakat adalah term “al-Adl” karena maknanya adalah seimbang dan kata “seimbang” pastinya tidak hanya berbicara satu orang saja namun, orang banyak seperti suatu organisasi atau masyarakat luas untuk membangun tatanan sosial yang baik menuju makmur dan sentosa.

Post a Comment for "Konsep Keadilan dalam Islam"