Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konsep Demokrasi dalam Islam

 

Konsep Demokrasi dalam Islam

Latar Belakang Masalah

Menurut kodratnya, manusia mempunyai hasrat untuk hidup bersama, yaitu hidup bermasyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah mahluk sosial (zoon politicon). Dalam kehidupan bermasyarakat, masing-masing dari individu mempunyai kebutuhan yang berbeda dan selalu ingin diutamakan. Perbedaan ini terkadang dapat menimbulkan konflik dalam tatanan masyarakat tersebut. Maka dari itu, perlu adanya sistem yang digunakan untuk melindungi kepentingan- kepentingan individu dalam masyarakat. Salah satu sistem yang dianggap terbaik dalam hal ini ialah demokrasi.

Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut asas demokrasi sangat berkepentingan untuk membangun masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi keadilan, kebebasan, dan persamaan, baik antar suku, etnis, tujuan dan juga pemikiran. Untuk dapat memenuhi hal tersebut, salah satu langkah yang harus dilakukan ialah memperbaiki sistem demokrasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Sebagai agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, Islam memiliki peluang yang besar dalam mengkontribusi negara dalam berbagai aspeknya, termasuk dalam sistem penyelenggaraan kekuasaan. Kontribusi Islam untuk negara dapat mengacu pada sumber ajaran Islam yaitu ayat-ayat Al-Qur’an. Studi terhadap konsepsi demokrasi yang menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai obyek kajian dengan demikian menjadi sangat penting dilakukan. Pelibatan sumber ajaran Islam sama sekali tidak ditujukan untuk memperoleh supremasi bagi penganut agama ini yang pada kenyataannya adalah mayoritas, tetapi sebagai bagian dari keikutsertaan dalam membangun negeri secara bersama-sama. Al-Qur’an sendiri berulang kali memuji golongan minoritas yang terkerahkan, lantaran kebanyakan manusia pada umumnya cenderung korup dan sesat.

Definisi Demokrasi

Secara etimologi, istilah demokrasi pada asalnya diambil dari bahasa Yunani “demos” dan “kratein. Kata “demos” memiliki arti rakyat, sedangkan kata “kratein” berarti pemerintah.[1] Jadi, sederhananya kedua kata tersebut berarti pemerintah, kekuasaan atau kedaulatan berada pada rakyat. Senada dengan pendapatnya Kristen Haack yang menyatakan bahwa demokrasi meupakan ide tentang rakyat dan kekuasaan (Democracy, or demos kratein, is the idea that the people “demos” should rule “kratein”). Begitu juga yang dikemukakan oleh Gagnon, bahwa demokrasi memiliki makna “the rule people”. Namun, menurut Gagnon, sangat sulit untuk mendatangkan satu definisi yang akurat mengenai istilah demokrasi apabila memaknainya hanya dengan kedaulatan di tangan rakyat. Maka dari itu, untuk memudahkan mendapat suatu pemahaman tentang demokrasi secara komprehensif perlu kiranya mencantumkan makna demokrasi menurut para ahli.

Adapun menurut Hatta, demokrasi merupakan cara-cara penyelenggaraan kekuasaan pemerintah yang berdasarkan asas kedaulatan rakyat.[2] Definisi yang senada juga diungkapkan oleh J. Kristiadi bahwa demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme suatu sistem pemerintahan negara sebagai upaya mewujudkan kedaulata rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Dalam litertur lain, terdapat beberapa rumusan yang dirangkum oleh Ihsan Nul Hakim dalam penelitiannya yang berjudul “Islam dan Demokrasi: Studi Komparatif antara Teori Politik Islam dan Demokrasi Barat”:[3]

1.      Sidney Hook

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung, didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

2.      Philipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl

Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan, dimana pemerintahan dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih.

3.      Deliar Noer

Demokrasi merupakan dasar hidup bernegara mengandung pengertian bahwa pada tingkat terakhir, rakyat memberikan ketentuan-ketentuan dalam masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara.

4.      Moh. Mahfud MD

Demokrasi dari sudut pandang organisasi, berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat, karena kedaulatan berada dalam genggaman tangan rakyat.

Dari definisi-definisi yang masuk tersebut, secara garis besar dapat kita spesifikasikan bahwa demokrasi adalah memberikan hak kebebasan bersuara dan bertindak kepada masyarakat dalam suatu negara untuk ikut campur dalam urusan kenegaraan dalam mengambil suatu keputusan. Lebih luas lagi Richard A. Posner mengatakan bahwa makna democracy tidak hanya dimaknai dalam bidang politik (political) dan pengambilan keputusan (decision making) saja, tetapi demokrasi adalah sebuah karakter. Sementara makna demokrasi sebagai politik demokrasi, atau sebuah sistem dalam politik pemerintahan merupakan definisi yang datang kemudian merupakan istilah yang dipakai dalam masa modern.[4]

Demokrasi Dalam Islam

Dalam Islam, konsep demokrasi pada umumnya tidak jauh berbeda dengan konsep demokrasi yang digagas oleh Barat. Namun ada perbedaan signfikan yang menjadi deferensial antara demokrasi Islam dan demokrasi Barat. Bagian signifian yang membedakan yang dimaksud adalah bahwa demokrasi dalam Islam mengakui adanya otoritas agama dan Tuhan. Artinya, terdapat pembatasan hak-hak rakyat oleh kedaulatan Tuhan, kemudian konsep demokrasi dalam Islam memiliki kaitan dengan konsep syura yang tertera dalam Al-Qur’an.

Dalam penelitiannya Samsul Bahri, Nurkhalis dan Muhammad Rizki menyatakan bahwa Abdurrahman Wahid menyebut Islam adalah agama demokrasi dengan menyertakan beberapa alasan, sebagai berikut:

1.      Islam adalah agama hukum, sehingga semua orang diperlakukan sama.’

2.      Islam mememiliki asas musyawarah (syura) yang merupakan ajaran fundamental, guna untuk menyatukan berbagai keinginan dan kehendak dalam masyarakat, syura merupakan langkah yang efektif.

3.      Islam selalu berpandangan untuk memperbaiki kehidupan

Pemikir dari intelek Islam yang terkenal yakni Al-Maududi, dalam menjelaskan kedudukan demokrasi Islam yang benar, ia berpendapat bahwa pemerintahan Islam pada hakikatnya lebih bersifat “theo-democracy”. Hal tersebut karena wujudnya dalam kedaulatan manusia yang sifatnya inifite (terbatas) yang terletak di bawah kekuasaan Allah. Pemerintahan Islam tidak dinafikan memiliki unsur-unsur demokrasi untuk mengisi yang tidak ada nash, namun apabila sudah terdapat nash, ia bersifat teokrasi.

Kemudian, menurut Fuad dalam bukunya yang berjudul “Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’” menyebutkan bahwa dalam demokrasi Islam, agama Islam mendukung adanya hak masyarakat (civil liberties) seperti kebebasan dan kesetaraan. Hak-hak masyarakat – dalam agama Islam – dilandasi atas agama dan tauhid.[5] Mengacu pada alur pemikiran ini, maka, konsep conten atau isi dari demokrasi Barat pada dasarnya mempunyai persamaan dalam konsep demokrasi Islam. Islam juga mengakui adanya hak-hak sipil sebagaimana pengakuan konsep demokrasi yang berkembang di Barat.

Ayat Al-Qur’an tentang Demokrasi

Demokrasi dalam Al-Qur’an, secara penggunaan kata memang tidak dapat ditemukan secara spesifik, namun kata yang merepresentasikan makna demokrasi dalam Al-Qur’an ialah kata “Syura”. Untuk mengetahui lebih dalam, terdapat tiga ayat yang akan penulis cantumkan pada pembahasan ini yang memiliki implikasi dengan demokrasi:

1.      Q.S Al-Baqarah [2]: 233.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233)

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun berkewajiban seperti itu pula. Apabila keduanya menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan dari antara keduanya, maka tidak ada dosa antara keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Q.S Al-Baqarah [2]: 233)

 

Al-Maraghi – dalam tafsirnya – menyebutkan bahwa kedua orang tua memiliki kewajiban untuk mengasuh anaknya sejak kecil. Bagi seorang ibu, ia wajib untuk menyusui anaknya, karena susu seorang ibu lebih utama daripada susunya orang lain, sebagaimana kesepakatan para dokter. Sebab seorang anak dilahirkan dari darah ibunya. Ketika seorang anak sudah lahir maka, ia membutuhkan susu sebagai makanan baginya. Tidak hanya itu, Al-Maraghi juga menyebutkan bahwa susu seorang ibu memiliki dampak terhadap tubuh, akhlak dan adab seorang anak kecil. Sehingga orang tua wajib untuk meneliti akhlak anaknya dari kecil.[6]

Seorang ibu dapat menyusui anaknya selama dua bulan atau menyusui tidak sampai dua bulan melalui musyawarah terlebih dahulu. Al-Maraghi menyebutkan, kata “Tasyawurin, Musyawarah dan Masyurah” ialah saling bertukar pikiran antara satu dengan yang lainya. Hal ini dapat disebutkan demokrasi dalam ruang lingkup kecil yang berkenaan dengan mekanisme dan tata cara menyusui anak. Dengan begitu – secara tidak langsung - ayat di atas menuntut manusia untuk berdemokrasi yang harus diimplementasikan sejak dalam kehidupan keluarga sebagai salah-satu unit terkecil dari sebuah bangsa yang nantinya dapat berkonsekuensi pada pengayaan wawasan dan kesadaran berdemokrasi meliputi semua pihak dalam sebuah negara.

2.      Q.S Ali Imran [3]: 159.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal.” (Q.S Ali Imran [3]: 159)

 

Lafadz “Ma” pada ayat di atas adalah huruf zaidah. Jika dikira-kirakan maka akan berupa “Fabirahmatin” (Dengan sebab rahmat Allah). Menurut Al-Baidhawi, ia tidak sebagai huruf tambahan saja melainkan juga sebagai penguat, peringatan dan petunjuk atas sifat lemah-lembut Rasulullah saw kepada para sahabatnya tidak lain merupakan bentuk dari rahmat Allah swt yang dicurahkan kepada Nabi saw. Ayat ini juga memberikan peringatan agar Nabi Muhammad saw tidak keras dan berhati kasar kepada para sahabatnya karena hal itu akan membuat mereka berpisah-pisah dan tidak akan mau bersama Nabi. Kemudian, di sisi lain, usaha Nabi untuk mendapatkan hati para sahabatnya – sebagaimana perintah dari Allah swt – ialah dengan memohonkan ampun untuk mereka.[7]

Sementara kandungan ayat ini yang memiliki korelasi dengan demokrasi adalah perintah Allah kepada Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat di masa beliau hidup, ialah mengajak para sahabatnya musyawarah, sebagaimana potongan ayat “Wasyawirhum fil Amri” (dan bermusyawarahlah dengan mereka tentang urusan itu) yakni dalam masalah rentetan peperangan.[8] Musyawarah dalam masalah tertentu seperti tentang peperangan ini tentunya sangat dibutuhkan. Al-Baidhawi juga menyebutkan, bahwa dengan mengadakan musyawarah maka akan memberikan titik kejelasan dari semua pendapat dan memberikan kebaikan jiwa setiap individu. Hal ini merupakan cerminan tata cara pengambilan keputusan yang sejalan dengan prinsip demokrasi bahwa seorang pemimpin seyogianya tidak mengabaikan suara hati rakyat yang dipimpinnya.

3.      Q.S As-Syura [42]: 38.

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38)

“dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S As-Syura [42]: 38)

Dalam ayat ini, terdapat beberapa karakter tentang orang yang beriman yang diistimewakan oleh Allah swt. Beberapa karakter yang terkandung dalam ayat ini adalah mematuhi seruan Allah, melaksanakan shalat dan melakukan musyawarah dalam menyelesaikan setiap urusan serta kesediaan untuk berinfak. Secara implisit ayat ini menegaskan bahwa kedudukan syura sangat strategis dalam menentukan karakter orang-orang yang beriman sebagaimana dideskripsikan dalam ayat tersebut.

Musyawarah yang dimaksud ayat di atas ialah baik berhubungan dengan agama dan duniawi dan tidak membuat suatu keputusan sendiri. Eksistensi musyawarah ini – menurut Al-Sa’di dalam tafsirnya – ialah sebagai bentuk kasih-sayang dan saling mencintainya satu sama lain dalam suatu organisasi/kelompok serta menunjukkan kesempurnaan akal mereka bahwa ketika hendak memberikan keputusan atas suatu perkara, sebaiknya dirembuk terlebih dahulu dengan membuka musyawarah dan pembahasan yang mendalam sehingga nantinya akan tampak suatu kemaslahatan. Seperti permasalahan tentang perang, jihad, pemerintahan atau seorang pemimpin dan lain sebagainya, maka permasalahan-permasalahan tersebut juga masuk pada ayat ini untuk dimusyawarahkan.[9]

Konsep demokrasi yang terakomodasi dalam Al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari beberapa prinsip umum, di antaranya adalah kebebasan untuk menentukan pendapat sebagaimana realisasi dari konsep syura seperti telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, demokrasi yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an tersebut sebelumnya mengandung prinsip menghargai hak-hak sipil. Pemerintah ditentukan berdasarkan hasil pemilihan dari masyarakat, atau dapat dinyatakan sebagai ide konstitusional ala syura, keterbukaan, dan asas mayoritas lebih unggul dengan dasar utilitarianisme (asas kemanfaatan dan malaah). Hal ini sesuai dengan konsep demokrasi yang dibangun dewasa ini. Prinsip yang melandasinya seperti disebutkan oleh Nurkhalis yaitu didasari dari ide demokrasi yakni konstitusionalisme, kedaulatan rakyat, aparat yang bertanggung jawab, jaminan kewajiban sipil, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan asas mayoritas.[10]

Dalam hal ini, Nurcholish Madjid seperti dikutip oleh Nurkhalis menyatakan demokrasi adalah sistem di mana warganya bebas mengambil keputusan berdasarkan kekuasaan mayoritas. Kekuasaan mayoritas haruslah digandengkan dengan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia termasuk perlindungan atas hak-hak minoritas. Metode demokratis adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.19

Kesesuaian demokrasi yang dibangun dalam Islam dengan konteks demokrasi modern sepertinya telah dikemukakan oleh beberapa tokoh, misalnya Tohir Bawazir. Setidaknya, ada lima persamaan yang disebutkan, yaitu:

a.       Mengedepankan suara terbanyak

b.      Semua pihak memiliki peluang untuk memilih

c.       Asas musyawarah

d.      Melibatkan banyak pihak

e.       Persetujuan masyarakat mayoritas

Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwasannya konsepsi yang berkenaan dengan demokrasi dalam Al-Qur’an adalah “Syura”. Dalam Syura, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’ tafsir di atas terdapat norma yang mengatur tentang keharusan untuk melakukan musyawarah baik dalam masalah ukhrawi atau duniawi seperti urusan keluarga, muamalah atau urusan dalam bidang politik.

Daftar Pustaka

Al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, 1418 H.

Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1946.

Al-Sa’di, Taysir al-Karim al-Rahman, t.tp: Muassasah al-Risalah, 2000.

Abdulkarim, Aim, Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara Yang Demokratis, Jakarta: Grafindo Media Pratama, n.d.

Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011.

Hakim, Ihsan Nul, “Islam Dan Demokrasi: Studi Komparatif Antara Teori Politik Islam Dan Demokrasi Barat”, dalam Madania, Vol. 18, No. 1, 2014.

Fachruddin, Fuad, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’, Jakarta: Alvabet dan Yayasan INSEPJ, 2006.

Nurkhalis, “Konstruksi Demokrasi Dalam Pemikiran Nurcholish Madjid”, dalam Sosio-Religia, Vol. 10, No. 1, 2012.


[1] Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara Yang Demokratis (Jakarta: Grafindo Media Pratama, n.d.), 109.

[2] Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta. (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011), 6.

[3] Ihsan Nul Hakim, “Islam Dan Demokrasi: Studi Komparatif Antara Teori Politik Islam Dan Demokrasi Barat”, dalam Madania (Vol. 18, No. 1, 2014), 45.

[4] Samsul Bahri, Nur Khalis dan Muhammad Rizki, “Konsepsi Demokrasi Menurut Al-Qur’an” dalam jurnal of Qur’anic Studies (Vol. 6, No. 2 Desember 2021), 286.

[5] Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ (Jakarta: Alvabet dan Yayasan INSEPJ, 2006), 32.

[6] Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Vol. 2 (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1946), 184.

[7] Al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Vol. 2 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, 1418 H), 45.

[8] Ibid., 45

[9] Al-Sa’di, Taysir al-Karim al-Rahman, Vol. 1 (t.tp: Muassasah al-Risalah, 2000), 759.

[10] Nurkhalis, “Konstruksi Demokrasi Dalam Pemikiran Nurcholish Madjid”, dalam Sosio-Religia (Vol. 10, No. 1, 2012) 155.

Post a Comment for "Konsep Demokrasi dalam Islam"