Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENGGALI MAKNA AL QUR`AN MELALUI KAIDAH KEBAHASAAN; ISIM DAN FI`IL

Al-Qur`an marupakan sumber dasar hukum dalam agama Islam, bukan kitab hukum Islam. Oleh sebab itu, untuk menemukan hukum yang dimuat di dalamnya, perlu adanya suatu penafsiran. Terdapat beberapa kaidah penafsiran sebelum manafsiri Al-Qur`an agar isi atau kandungan-kandungan pesan yang ada di dalamnya dapat ditangkap dan dipahami seara baik sesuai dengan tingkat kemampuan manusia.

Kaidah tafsir ialah dasar atau pedoman yang harus diketahui oleh mufassir dalam memberikan keterangan atau penjelasan mengenai makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur`an.  Dalam diskursus Ulum al-Quran, para ulama` berbeda pendapat mengenai kaidah-kaidah yang dapat dijadikan pedoman dalam menafsiri Al-Qur`an. Sebagian ulama` berpendapat bahwa kemampuan menafsiri Al-Quran tidak berdasarkan kaidah-kaidah tertentu, akan tetapi harus digali langsung dari Al-Quran atas petunjuk Nabi dan para sahabatnya. Sedangkan ulama` lainnya berpendapat bahwa menafsiri Al-Qur`an harus melalui kaidah-kaidah tertentu terutama kaidah bahasa (linguistik).

Diantara dua pendapat di atas yang paling menonjol ialah pendapat yang kedua. Alasannya karena dengan menguasai kaidah-kaidah penafsiran maka dapat mempermudah seseorang dalam menafsirkan Al-Qur`an. Sebaliknya, pendapat pertama cendrung mempersulit seseorang yang ingin memperdalam Al-Qur`an.

Kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur`an dibagi menjadi kaidah dasar; menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, dengan hadis Nabi, pendapat sahabat, dan dengan pendapat tabi`in dan kaidah kebahasaan; kaidah isim dan fi`il, amr dan nahy, istifham, dhamir, mufrad dan jamak, mudzakkar dan muannas, taqdim dan ta`khir serta ma`rifat dan nakirahnya.[1]

Kaidah Isim dan Fi`il

Dianatara kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah kaidah fi`i dan isim.  Dalam Al-Qur`an banyak dijumpai kalimat yang diungkapkan dalam bentuk kalimat nomina (جملة الاسمية) dan berupa verba (جملة الفعلية). Tentu, penggunaan kedua kalimat tersebut mengandung makna yang berbeda. Sebagaimana dalam ilmu nahwu, isim ialah kalimat yang menunjukkan makna pada dirinya sendiri dan tidak bersamaan dengan zaman sedangkan fi`il ialah sebaliknya yakni kalimat yang menunjukkan kata kerja serta bersamaan dengan zaman; lampau (ماضي), sekarang (حال) dan akan datang (استقبال).[2]  Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Syu‘ara’ ayat 78:

الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ

(Yaitu) yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku(Q.S al-Syu‘ara’)

Kata kerja pada ayat di atas yakni khalaqa (خلق)    menunjukkan pekerjaan yang telah terjadi atau selesai perbuatan pada masa lampau (ماضي) sementara kata yahdi>y (يهدي) ialah fi`il mudhari` yang memiliki arti pekerjaan yang akan datang (terus-menerus).

Menurut Mana` Khalil Qattan dalam “Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an” kalimat isim atau kalimat nomina menunjukan arti tetap (al-Tsubut) dan terus-menerus (al-’Istimrar). Sedangkan kalimat fi`il menunjukan terhadap sesuatu yang tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudus (sesuatu yang baru). Masing-masing dari keduanya memiliki tampat sendiri yang tidak dapat ditempati oleh yang lain. Sebagaimana ayat tentang infaq yang diungkapkan menggunakan bentuk verba yaitu surat Ali Imran ayat 134:[3]

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Lafal infaq dalam ayat tersebut tidak menggunakan kalimat nomina yang menunjukan tetap dan terus-menerus. Namun, dalam masalah keimanan, digunakan kalimta nomina. Seperti dalam surat al-Hujurat ayat 15:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”

Hal tersebut karena infaq merupakan sesuatu yang bersifat temporal. Terkadang ada dan terkadang juga tidak ada, lain halnya dengan keimanan. Ia memiliki hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendaki masih ada.[4]

Relevansi Kaidah Isim dalam Penafsiran Al-Qur`an

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa kaidah fi`il dan isim merupakan bagian dari kaidah kebahasaan dan tentu hal ini dapat dijadikan alternatif penafsiran Al-Qur`an, kesesuaian atau relevansi kaidah tersebut dengan penafsiran ayat Al-Qur`an yang telah nampak jelas dalam beberapa contoh berikut ini:[5]


 
 وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ

Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu goa dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh kekuatan terhadap mereka.”[6]

 

Ayat tersebut mendeskripsikan keadaan anjing Ashab al-Kahfi ketika mereka tertidur dalam gua. Anjing itu tidur dalam keadaan kaki terentang yakni diungkapkan berupa kalimat isim pada lafal basith, tidak dengan kalimat fi`il. Sehingga, dapat ditarik kesipulan bahwa anjing Ashab al-Kahfi selalu menjulurkan kedua kaki depannya di muka pintu gua. Berbeda apabila menggunakan kalimat fi`il (kata kerja) seperti yabsutu (fi`il mudhari`) sebab hal tersebut menunjukkan suatu peristiwa yang terjadi pada suatu masa dan tidak menunjukkan sifat yang tetap bagi anjing tersebut. Adapun contoh lain yaitu surat al-Zariyat ayat 58:

 إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

Sesungguhnya Allah dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh

Dapat kita pahami bahwa al-Razzaq atau al-Raziq merupakan sifat yang tetap dan tidak berubah-rubah. Sedangkan jika berupa kalimat fi`il (mudhari`) seperti Yarzuqu maka, hal tersebut menggambarkan suatu perbuatan yang dikerjakan secara berulang-ulang dan berkesinambungan yakni Allah swt memberi rizki kepada makhluknya secara berulang-ulang dan berkesinambugan. Namun, tidak merupakan sifat yang menetap pada dirinya.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka itulah orang-orang yang benar.6

Potongan ayat di atas “al-Mu’minunadalah bentuk kalimat isim atau sifat yang menetap pada diri yang disifati sebagaimana penjelasan di atas. Sehingga, hal tersebut memberi pemahaman bahwa iman adalah hakikat yang harus tetap berlangsung atau ada selama keadaan menghendaki, begitu juga ketakwaan, kesabaran dan sikap syukur. Jadi, mukmin adalah sebutan bagi seseorang yang keberadaannya senantiasa diselimuti oleh iman.

Pada contoh yang lain seperti kata infaq. Dalam A-Qur`an Allah swt selalu menggunakan kata tersebut dengan bentuk fi`il mudhari` sekalipun berbagai konjungsinya: yunfiqu, tunfiqu, yunfiqun, tunfiqun, dan selainnya. Hal ini menunjukkan bahwa berinfak harus dilakukan secara terus-menerus (berulang-ulang). Sebagaimana Allah swt berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 274:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati

Dalam ayat tersebut Allah swt tidak menggunakan kata infaq dengan bentuk isim “al-Munfiqun” sebab yang dikehendaki oleh-Nya yaitu agar mereka berinfak secara berulang-ulang dan terus-menerus. Adapun sifat berinfak tidak perlu menyatu pada diri mereka secara menetap. Berbeda dengan kata takwa, iman, syukur dan lain-lain. Dalam Al-Qur`an, kata-kata tersebut diungkapkan dengan bentuk kata kerja dan kata benda. Hal ini berarti, umat diperintahkan agar senantiasa dalam keadaan beriman, bersyukur dan sebagainya bahkan sekejap mata pun tidak boleh lepas dari sifat-sifat tersebut dan inilah konotasi kosa kata dalam bentuk isim. Adapun dalam bentuk kata kerja (fi`il mudhari`), kosa kata tersebut memberikan pemahaman bahwa sifat-sifat itu yang telah disebutkan harus senantiasa diperbaharui secara terus-menerus dan berksinambungan. Seperti ayat-ayat berikut ini:

لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَاةَ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا

Tetapi orang-orang yang ilmunya mendalam diantara mereka, dan orang-oang yang beriman, mereka beriman kepada Al-Qur`an yang di turunkan kepadamu (Muhammad), dan kepada (kitab-kitab) sebelummu, begitu pula mereka yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat dan beriman kepada Allah dan hari kemudian. Kepada mereka akan Kami berikan pahala yang besar[7]

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa[8]

 

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ

Sesungguhnya orang yang bertakwa itu berada dalam surga-surga (taman-taman), dan di dekat mata air (yang mengalir)[9]

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan sungguh, Allah telah menolongm kamu dalam Perang Badar, padahal kamu dalam keadaan lemah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah, agar kamu mensyukurinya[10]

ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur[11]  

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

Kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapatkan pahala yang tidak ada putus-putusnya[12]

Contoh pertama pada potongan ayat “al-Mu’minun” dan “Yu’minun” begitu juga pada contoh kedua, mengisyaratkan pemahaman yang sama yakni, beribadah menyembah Tuhan akan membuat ketakwaan seseorang kepada Allah terlaksana terus-menerus sepanjang hayatnya. Sebab itulah, dipakai lafal tattaqun (fi`il mudhari`) dan tidak berupa isim (al-Muttaqin). Maksudnya, ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa dalam beribadah kepada Allah seseorang dapat memperbaharui dan menambah kuat imannya kepada Allah. Sehingga, lama-kelamaan takwa tersebut menjadi sifat yang menyatu dan menetap dalam dirinya; ketika inilah Allah menyebut mereka dengan predikat al-Muttaqin dan dijanjikan akan memperoleh pahala dan kehidupan yang bahagia di akhirat.

Jika ditilik secara seksama, ayat-ayat Al-Qur`an yang membahas janji Allah tentang surga atau balasan-balasan yang amat tinggi dan mulia lainnya bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, Allah selalu mengungkapkannya dengan bentuk kata benda (kalimat isim) seperti al-Muttaqin dan al-Muttaqun. Sehingga, seseorang yang mendapatkan nikmat surga dan sebagainya hanyalah orang-orang yang memiliki sifat takwa secara tetap, tidak musiman seperti dala firman Allah swt:

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ

Sungguh bagi orang yang bertakwa (disediakan) surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya[13]

……….مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ

“Perumpamaan tanaman surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa; di sana ada sungai-sungai yang airnya tidak payau, dan sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya, dan sungai-sungai khamar (anggur yang tidak memabukkan) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni. Di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan, dan ampunan dari Tuhan mereka. Samakah mereka dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih, sehingga, ususnya terpotong-potong”[14]

قُلْ أَذَلِكَ خَيْرٌ أَمْ جَنَّةُ الْخُلْدِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ

“Katakanlah Muhammad; Apakah azab seperti itu yang baik, atau surga yang kekal yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa sebagai balasan, dan tempat kembali bagi mereka?”[15]

Nampak jelas dari ayat-ayat tersebut bahwa janji masuk surga dan kenikmatan lainnya hanya untuk al-Muttaqin dan mutaqun bukan bagi al-Lazina yattaqun atau al-Lazina yattaqau. Adapun pemakaian fi`il madhi (kata kerja masa lampau) tidaklah memberikan pemahaman yang spesifik sebab ia menjelaskan kejadian suatu peristiwa yang sudah lampau seperti ayat berikut:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ

“Tidakkah engkau Muhammad memerhatikan bagaiman Tuhanmu berbuat pada kaum `Ad?”[16]

Ayat ini memberikan sebuah kandungan makna agar setiap individu dapat mengambil pelajaran atas kejadian-kejadian yang telah lampau, sebagaimana yang telah Allah perbuat terhadap kaum `Add karena ingkar kepada-Nya. Begitu pula ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ[17]

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan

Ayat tersebut memberikan perintah agar kita merenungkan kejadian apa saja yang telah menimpa pada kita untuk bekal akhirat. Namun, pemakaian kata kerja masa lampau yang digunakan untuk memberikan peristiwa yang akan terjadi di masa depan mengandung makna bahwa peristiwa tersebut pasti akan terjadi baik cepat ataupun lambat dan hal tersebut tidaklah dapat ditolak oleh siapa pun seperti kata nufikha dalam surat Yasin ayat 51:

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُمْ مِنَ الْأَجْدَاثِ إِلَى رَبِّهِمْ يَنْسِلُونَ

“Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup), menuju kepada Tuhannya”

Ayat di atas memberikan kabar tentang tanda-tanda hari kiamat yaitu ditiupnya terompet. Namun, peniupan terompet hingga sekarang belum pernah terjadi, tetapi Al-Qur`an menggunakan kata kerja masa lampau (fi`il madhi). Hal ini memberi isyarat akan peristiwa peniupan terompet pasti akan terjadi. Oleh sebab itu, Allah mengungkapkannya menggunakan bentuk fi`il madhi, sehingga terkesan seolah-olah peristiwa tersebut telah terjadi.

Namun, perlu diketahui bahwa dalam menafsiri Al-Qur`an dengan kaidah kebahasaan tidak hanya memakai setiap kata atau kalimatnya secara literal (harfiah) karena orang Arab juga mengenal makna tersurat (mantuq) dan makna tersirat (mafhum) sehingga, untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur`an tidak harus di dapat dari kata-kata yang tertulis.[18]

Kesimpulan

Diantara kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah kaidah isim dan fi’il. Menurut Mana` Khalil Qattan dalam “Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an” kalimat isim atau kalimat nomina menunjukan arti tetap (al-Tsubut) dan terus-menerus (al-’Istimrar). Sedangkan kalimat fi`il menunjukan terhadap sesuatu yang tajaddud (timbulnya sesuatu) dan huduts (sesuatu yang baru). Masing-masing dari keduanya memiliki tampat sendiri yang tidak dapat ditempati oleh yang lain. Penggunaan isim dan fi’il dalam Al-Qur’an mempunyai fungsi yang berbeda-beda dimana pemakaian satu lafal dalam Al-Qur’an bukan secara kebetulan, melainkan memang dibuat sedemikian rupa agar membawa pesan yang dimaksud dengan tepat dan mengenai sasarannya dalam membimbing umat kejalan yang benar (shirat al-Mustaqim) dan tentunya agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat



[1] Jabal Nur, Qawai’d al-Tafsir Hubungannya Dengan Bahasa Arab dalam Al-Ta`dib (No. 2. Vol. 6 Juli 2013), 28

[2] Abu Abdurrahman Jamal, al-Nahwu al-Tatbiqi min Qur’an al-Azim (Dar al-Diya: Kairo, 2003), 16.

[3] Mana’ Kholil Qattan, Mabahist fi ‘Ulum al-Qur’an (Maktabah Wahbah: Kairo, 1995), 196.

[4] Ibid., 196.

[5] Agustiar, Kaidah Arab dan Urgensinya Terhadap Penafsiran Al-Qur`an dalam An-Nur (No. 2. Vol. 4 Juli 2015), 197.

[6] Q.S al-Kahfi: 18

[7] Q.S al-Nisa>’ ayat 162

[8] Q.S al-Baqarah ayat 21

[9] Q.S al-Hijr ayat 45

[10] Q.S ‘Ali ’Imro>n ayat 123

[11] Q.S al-’Ara>f ayat 17

[12] Q.S al-Ti>n ayat 6

[13] Q.S al-Qalam ayat 34

[14] Q.S Muhammad ayat 15

[15] Q.S al-Furqa>n ayat 15

[16] Q.S al-Fajr ayat 6

[17] Q.S al-H}asyr ayat 18

[18] Kusroni, Mengenal Ragam Pendekatan, Metode dan Corak dalam Menafsiri Al-Qur`an dalam Jurnal Kaca (No. 1. Vol. 9 Februari 2019), 91.

Post a Comment for " MENGGALI MAKNA AL QUR`AN MELALUI KAIDAH KEBAHASAAN; ISIM DAN FI`IL "