Korelasi Ruang Keyakinan dan Ruang Keraguan dalam Diri Manusia
Menyoal manusia, tentu sangatlah kompleks dan luas pembahasannya. Manusia yang sebuatan lainnya adalah “Hayawan al-Natiq” (hewan yang berakal) memiliki pengaruh yang sangat besar di bumi ini daripada mahluk-mahluk yang lain. Pengaruh tersebut dapat berwujud negative dan juga positif. Hal ini dikarenakan bawaan/tabi’at manusia yang rakus dan suka berlebihan terhadap segala sesuatu yang dapat memuaskan hasratnya kecuali orang-orang yang suci hatinya dari segala kotoran.
Walaupun manusia dianugerahi akal oleh Sang Maha Kuasa, bukan berarti manusia dapat langsung menentukan kebenaran atau kesalahan atas apa yang mereka lihat, raba dan yang mereka rasakan. Maka dari itu, adakalanya mereka terjebak dalam ruang keyakinan dan adakalnya juga terjebak dalam ruang keraguan. Tentunya, ini kembali terhadap ilmu yang mereka peroleh, biasanya manusia terjebak dalam ruang keraguan karena mereka tidak memiliki ilmu untuk menanggapi terhadap apa yang terjadi pada dirinya.
Ruang Keyakinan
Sementara menyoal tentang keyakinan dalam diri manusia – selain ranah beriman kepada Allah, dan hal-hal lain yang wajib untuk diimani tanpa sebab - dapat dipetakan menjadi dua yaitu penyebab timbulnya keyakinan tersebut dan impaknya bagi manusia itu sendiri.
Pertama, banyak faktor yang menjadikan manusia memiliki keyakinan dalam hatinya. Faktor tersebut adakalanya faktor eksternal dan adakalanya faktor internal. Maksud faktor eksternal di sini adalah penyebab yang datang dari luar manusia itu sendiri, misalkan si A memiliki keyakinan terhadap si B karena si B telah memberikan suatu petunjuk jalan yang tepat kepada si A atau karena si B sering memberikan sebagian hartanya kepada si A, sehingga si A memiliki keyakinan kepada si B.
Sementara faktor internalnya adalah keyakinan yang timbul dalam hati karena faktor yang sifatnya intuisi seperti halnya ketika seorang yang mukmin bertambah keyakinannya karena ada isyarah yang datang dari para kekasih Allah melalui mimpi.
Kedua, keyakinan yang terdapat dalam diri manusia memanglah dibutuhkan sebagaimana yang telah digambarkan di atas. Namun, terkadang karena keyakinan itu juga manusia dapat terjerumus dalam ruang keyakinan yang kaku, seperti dalam hal ajaran yang dianut. Seseorang yang mempelajari suatu ajaran tertentu entah itu tentang agama atau pelajaran umum lainnya. Kemudian ia memahami atas ajaran yang dianutnya tersebut disertai dengan keyakinan yang kokoh, maka kerap kali ia tidak mau mendengarkan tawaran orang lain tatkala terdapat suatu problem yang belum dapat dipecahkan dan belum muncul dalam ajaran yang ia anut.
Berpegang teguh pada keyakinan masing-masing memang sudah lazim, tetapi jika terlalu berlebihan hingga tidak menerima masukan dari kelompok lain, misalnya, maka ia telah masuk dalam kategori orang yang terjerumus dalam keyakinannya. Tindakan seperti ini sangat berbahaya, sebab pemikiran yang terlalu kaku akan berdampak pada intoleransi antara satu kelompok pada kelompok lainnya.
Ruang Keraguan
Oleh sebab itu, di sinilah urgennya keberadaan ruang keraguan bagi manusia. Seseorang tidak harus terus-menerus memaksakan – selama masih dalam ranah furu’ (cabang) – keyakinanya tatkala terdapat suatu persoalan yang perlu refleksi jawaban dari golongan yang lain. Ruang keraguanlah yang menjadikan manusia tidak kaku dalam berfikir karena dengan ruang keraguan tersebut seseorang yang memang memiliki keyakinan atas apa yang ia kaji, pelajari dan yang ia anut maka, ketika terdapat keraguan pastinya ia akan mencari tahu untuk membongkar keraguan tersebut dengan membandingkan antara satu referensi dengan referensi-referensi yang lain.
Ruang keraguan membantu manusia untuk menggali lebih dalam ilmu yang belum ia ketahui dengan tersesat dan kemudian mencari jalan keluar melalui observasi, muthola’ah, wawancara, membandingkan dan dengan cara-cara lainnya untuk mengembalikan dan menetapkan keyakinan terhadap suatu ajaran yang dianutnya tersebut.
Jadi, jika memang seseorang yakin terhadap yang ia anut, maka liniernya, tentu ketika terdapat keraguan dalam jiwanya, ia akan berusaha mencari tahu dengan menelaah pendapat dari golongan yang ia anut dan pendapat selain golongannya ketika tidak ada pembahasan mengenai persoalan yang masih bergelimang ketidakjelasan. Tentu ini mendorong agar ia tidak berfikir kaku dan ekstrem.
Sebagaimana dalam agama Islam yang di dalamnya terdapat banyak golongan fikih, teologi dan ormas-ormas Islam lainnya. Tentu, perbedaan tersebut tidaklah dapat dielakkan baik dalam segi tindakan, pendapat dan cara berfikirnya, berbeda-beda pastinya. Maka dari itu, kita harus menerima keberagaman tersebut yakni melalui ruang keraguan tadi. Intinya ruang keraguan harus ada – dan memang ada - atas apa yang diajarinya agar tidak terjerumus dalam keyakinan yang kemudian berakibat salah kaprah dalam menanggapi suatu persoalan.
Post a Comment for "Korelasi Ruang Keyakinan dan Ruang Keraguan dalam Diri Manusia"