Penafsiran Al-Qur'an Pada Periode Nabi Muhammad SAW
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat Jibril a.s. Selain itu, Al-Qur’an juga merupakan sumber pertama dan utama dalam mengimplementasikan ajaran Islam yang dituangkan melalui syari’at.
Pada masa Rasulullah saw masih hidup, para sahabat langsung konsultasi kepada beliau dalam mengahadapi problem yang belum terjawab, sebab pada waktu itu wahyu masih berlangsung dan belum putus. Demikian pula dalam masalah penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an, para sahabat langsung bertanya kepada Nabi sebagai Mubayyin (pemberi penjelas) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih sulit ditemukan maknanya. Lantas, seperti apa tafsir pada periode Nabi Muhammad saw.
Tafsir pada masa ini merupakan perkembangan tafsir di era klasik (tafsir klasik) yaitu pada masa Nabi dan sahabatnya. Adapun kegiatan menafsiri ialah sudah dimulai sejak ayat-ayat Al-Qur’an tersebut diturunkan.
Dalam praktiknya, tatkala Rasulullah saw menerima wahyu berupa ayat Al-Qur’an, beliau langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabat dan menjelaskannya berdasarkan apa yang beliau terima dari Allah swt. Al- Suyuthi dalam al-Itqan menyebtukan, pada masanya, Nabi Muhammad saw merupakan penafsir tunggal tentang Al-Qur’an yang memiliki otoritas spiritual, intelektual dan sosial. (As-Suyuthi, 2012: 173)
Adapun penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap Al-Qur’an ialah adakalanya menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an dan adakalanya dengan hadis atau sunnah. Namun, tafsir yang diterima dari Nabi saw sangat sedikit. Istri Nabi sendiri, Siti Aisyah, sebagaimana dijelaskan oleh As-Siddiqiey mengatakan bahwa Nabi Muhammad menafsirkan Al-Qur’an hanya beberapa ayat Al-Qur’an sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh malaikat Jibril a.s.
Adapun contoh penafsiran ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yaitu seperti surat al-An’am [6]: 82.
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (82)
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk” (Q.S al-An’am [6]: 82)
Pada saat turunnya ayat ini banyak dari para sahabat yang merasa resah karena menurut mereka tidak mungkin manusia hidup tanpa melakukan suatu kezaliman. Sehingga untuk menjelaskan atau meluruskan pemahaman para sahabat tersebut Rasulullah saw memberikan interpretasi dengan menggunakan ayat Al-Qur’an pula bahwa hakikat dari makna (zalim) pada ayat tersebut adalah sebagaimana lafadz (zalim) pada ayat:
لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
“Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar” (Q.S al-Luqman [31]: 13)
Penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap Q.S al-An’am ayat 82 dengan ayat 13 dari surah al-Luqman telah dinyatakan dalam sebuah hadis yang ditakhrijkan oleh Imam al-Bukhari berikut hadisnya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : لَمَّا نَزَلَتِ : {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ : ]إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ[
“Dari Abdullah r.a, dia berkata: Ketika turun ayat Yalbisu Imanuhum bi Zulmin para sahabat Nabi berkata: Siapakah diantara kita yang tidak menganiaya dirinya? Maka turunlah ayat Inna al-Syirka Lazulmun Azim” (H.R Bukhari)
Contoh penafsiran Nabi Muhammad dengan sunnah qauliyah yakni pada firman Allah swt dalam Q.S al-Baqarah ayat 187:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” (Q.S al-Baqarah [2]: 187)
Ayat ini ditafsiri oleh Rasulullah saw dengan sunnah qauliyah-nya. Sebagaimana hadis berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ مُطَرِّفٍ ، عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ أَهُمَا الْخَيْطَانِ قَالَ إِنَّكَ لَعَرِيضُ الْقَفَا إِنْ أَبْصَرْتَ الْخَيْطَيْنِ ثُمَّ قَالَ : لاَ بَلْ هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ.
Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa’d, telah bercerita kepada kami Jarir dari Mutharrif dari al-Sya’bi dari Addi bin Hatim r.a, ia berkata, “Aku bertanya: Wahai Rasulullah apa yang dimaksud benang putih dari benang hitam itu? Apakah keduanya benang?” Rasulullah saw menjawab, “Tidak tetapi itu adalah hitamnya malam dan putihnya siang” (H.R Bukhari)
Selanjutnya yaitu contoh penafsiran Nabi saw terhadap Al-Qur’an dengan sunnah fi’liyah-nya yakni firman Allah swt pada surah Ali Imran [3]: 190.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Q.S Ali Imran [3]: 190)
Ayat ini oleh Nabi Muhammad saw ditafsiri dengan sunnah fi’liyah beliau sebagaimana hadis berikut ini:
صحيح البخاري ـ حسب ترقيم فتح الباري (6/ 51)
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ : أَخْبَرَنِي شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ عَنْ كُرَيْبٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَتَحَدَّثَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ فَلَمَّا كَانَ ثلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ قَعَدَ فَنَظَرَ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ : {إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي الأَلْبَابِ} ثُمَّ قَامَ فَتَوَضَّأَ وَاسْتَنَّ فَصَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثمَّ أَذَّنَ بِلاَلٌ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الصُّبْحَ
Telah bercerita kepada kami Sa`id bin Abi Maryam, talah diberitahukan kepada kami oleh Muhammad bin Ja`far dia berkata: Telah diberitahukan kepada saya oleh Syarīk bin `Abdillah bin Abī Namir dari Kuraib dari Ibni `Abbas r.a. dia berkata: Saya tidur di sisi tanteku Maimūnah, lalu bercerita Rasulullah saw bersama keluarganya sesaat kemudian beliau tidur, maka setelah sepertiga malam yang akhir beliau duduk lalu memandang ke langit lalu bersabda:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي الأَلْبَابِ
Kemudian beliau berdiri dan mengambil wudhu’ serta membersihkan giginya lalu, shalat 11 raka’at. Setelah Bilal adzan maka, beliau shalat dua raka’at kemudian keluar lalu, shalat subuh. (H.R Bukhari)
Jika disimpulkan, penafsiran sudah ada sejak dulu yakni pada masa Nabi Muhammad saw di mana ketika beliau mendapatkan wahyu dari malaikat Jibril a.s, beliau menyampaikannya dan menjelaskan wahyu tersebut kepada para sahabat. Namun tafsir dari Nabi sendiri, sebagaimana dijelaskan di atas yakni sangat sedikit. Beliau menafsiri Al-Qur’an adakalanya dengan Al-Qur’an pula, juga adakalnya dengan sunnah qauliyah dan sunnah fi’liyah-nya.
Post a Comment for "Penafsiran Al-Qur'an Pada Periode Nabi Muhammad SAW"