Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dalil-Dalil yang Berhak Menasakh Suatu Hukum

 

Dalil-Dalil yang Berhak Menasakh Suatu Hukum

Dalam menasakh suatu hukum, tentunya kita tidak sembarangan dalam menggunakan dalil sebagai bahan untuk menasakh hukum tersebut. Oleh sebab itu, memandang dari segi dalil atau nasakh yang berhak menghapus hukum maka dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sebagaimana penjelasan berikut:

1. Diperbolehkan menasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Dalam hal ini Allah swt berfirman:

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (106)

Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atau segala sesuatu?” (Q.S al-Baqarah [2]: 106)

 

2. Diperbolehkan menasakh hadis dengan hadis sebagaimana diperbolehkannya menasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Ketentuanya, jika kualitas hadisnya Ahad maka dinasakh dengan hadis yang kualitasnya Ahad pula dan hadis yang kualitasnya Mutawatir dinasakh dengan hadis yang Mutawatir dan boleh menasakh hadis Ahad dengan hadis yang kualitasnya Mutawatir. Adapun menasakh hadis Mutawatir dengan hadis Ahad maka ulama’ tidak memperbolehkan karena tidak mungkin hadis Mutawatir yang sifatnya pasti (Qath’iy al-Tsubut) dihapus dengan hadis Ahad yang sifatnya prasangka atau Dzanni.

 

3. Diperbolehkan menasakh Fi’lun Nabi dengan perbuatan Nabi pula. Karena perbuatan Nabi sama halnya seperti perkataan atau sabda beliau. Demikian pula boleh menasakh ungkapan Nabi dengan perilakunya atau sebaliknya (menasakh perilaku Nabi dengan ungkapannya). Namun ada juga ulama’ yang tidak memperbolehkan menasakh ungkapan Nabi dengan perilakunya. Sedangkan alasan yang memperbolehkan adalah karena perilaku atau tindakan ialah sama seperti ucapan.

 

4. Menasakh hadis dengan Al-Qur’an. Dalam hal ini ada dua pendapat diantara para ulama’. Pertama, tidak diperbolehkan karena Allah swt menjadikan sunnah atau hadis sebagai Bayan (penjelas) terhadap Al-Qur’an. Allah swt berfirman:

 

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)

“Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan” (Q.S al-Nahl [16]: 44)

 

Sehingga, apabila kita jadikan Al-Qur’an sebagai dalil untuk menasakh sunnah maka seakan-akan kita menjadikan Al-Qur’an sebagai penjelas atau Bayan bagi hadis/sunnah. Kedua, diperbolehkan menasakh hadis dengan Al-Qur’an. Menurut Syaikh Ibrahim Al-Zairazi inilah pendapat yang paling sahih dengan alasan bahwa Al-Qur’an lebih kuat daripada sunnah/hadis.

 

5. Ulama’ berbeda-beda pendapat dalam hal Al-Qur’an dinasakh oleh sunnah/hadis. Menurut ulama’ madzhab Syafi’i tidak diperbolehkan. Sementara menurut ulama’ Hanafiyah dan mayoritas ulama’ menyatakan boleh menasakh Al-Qur’an dengan sunnah Mutawatir, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Abbas bin Suraij. Ulama’ yang tidak memperbolehkan menasakh Al-Qur’an dengan hadis, mereka beralasan bahwa sunnah tidak sama dengan Al-Qur’an di mana Al-Qur’an ketika dibaca Maka orang yang membacanya akan mendapatkan pahala sementara hadis tidak demikian, dalam hadis juga tidak mengandung I’jaz yang tentunya berbeda dengan Al-Qur’an.

 

6. Tidak diperbolehkan menasakh hukum atau ayat dengan Ijma’ (konsensus para ulama’) karena Ijma’ merupakan suatu hal yang baru, yang muncul setelah Rasulullah saw wafat. Oleh sebab itu tidak boleh menasakh syari’at-syari’at yang sudah ditetapkan oleh Rasul saw melalui Ijma’ akan tetapi sebaliknya dengan Ijma’ kita dapat mengetahui bahwa suatu hukum ada yang dinasakh.

 

Referensi: Syaikh Ibrahim al-Zairazi, Al-Luma’ Fi Ushul Fiqh (Haramain), 29.

Post a Comment for "Dalil-Dalil yang Berhak Menasakh Suatu Hukum"