“Hayya Alal Jihad” dan “Shallu fi Buyutikum”, Bolehkah? (Part II)

Belakangan ini beredar video kelompok atau ormas, yang mengumandangkan adzan dengan mengganti Hayya ala al-Shalah (Marilah laksanakan shalat) menjadi Hayya ala al-Jihad (marilah berjihad). Penggantian tersebut katanya hal yang wajar, dilandasi atas dasar adanya ketidakadilan pemerintah dan sebagai dukungan terhadap salah satu tokoh Islam.
Mengganti kalimat adzan juga bukanlah terjadi pertama kali ini, sebelumnya juga sempat beredar di media sosial, seorang muadzin mengumandangkan adzan di masjid Kuwait saat pandemi virus corona memuncak.
Setelah selesai pada Ashhadu allailaha Illallah, muadzin di Kuwait tadi tidak membaca Hayya ala al-Shalah, melainkan menggantinya dengan Sallu fi Rihalikum (Shalatlah kalian di rumah kalian).
Kejadian seperti ini menjadikan kita sebagai penderek, orang awam, menjadi bertanya-tanya dan bingung, dibenarkankah atau tidak?
Perbuatan yang dilakukan oleh muadzin di Kuwait, jika melihat pendapat Ibnu Abbas maka, dianggap sunnah (Telah dilakukan oleh Rasulullahh Saw.) dan dianggap sebagai rukhsah (Keringanan) dalam beribadah, jika konteksnya dikhawatirkan akan timbulnya bahaya kepada orang yang hendak berangkat untuk melaksanakan shalat jum’at.
901 - حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ الحَمِيدِ، صَاحِبُ الزِّيَادِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الحَارِثِ ابْنُ عَمِّ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، قَالَ: ابْنُ عَبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَلاَ تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، قُلْ: «صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ»، فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا، قَالَ: فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الجُمْعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ
]البخاري ,صحيح البخاري ,2/6[
Artinya: Pada saat hujan deras, Ibnu Abbas berkata kepada Muadzin, “jika
engkau telah selesai membaca Asyhadu ala Ilaha illallah wa Anna Muhammadan Rasulullah,
maka janganlah kamu lanjutkan dengan hayya ala al-salah, melainkan sallu
fi buyutikum”. Terlihat seakan orang-orang mengingkarinya, lalu beliau
menjelaskan bahwa sesungguhnya perbuatan ini telah dilakukan oleh manusia yang
lebih baik dariku (Nabi Muhammad Saw.), sesungguhnya shalat jum’at memanglah
kewajiban, namun aku tidak ingin mempersulit kalian, yaitu berjalan melewati
lumpur dan tanah yang licin.
Hadits tersebut memang terkesan hanya khusus pada shalat jum’at, namun menurut Imam Nawawi, udzur penyebab diperbolehkannya meninggalkan shalat jum’at sama dengan udzur meninggalkan shalat jama’ah di masjid, sebagaiman ibarat di bawah ini:
كُلُّ مَا أَمْكَنَ تَصَوُّرُهُ فِي الْجُمُعَةِ مِنَ الْأَعْذَارِ الْمُرَخَّصَةِ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ، يُرَخَّصُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ. أَمَّا الْوَحْلُ الشَّدِيدُ، فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ. الصَّحِيحُ: أَنَّهُ عُذْرٌ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَالثَّانِي: لَا. وَالثَّالِثُ: فِي الْجَمَاعَةِ دُونَ الْجُمُعَةِ. حَكَاهُ صَاحِبُ (الْعُدَّةِ) وَقَالَ: بِهِ أَفْتَى أَئِمَّةُ طَبَرِسْتَانَ.
]النووي، روضة الطالبين وعمدة المفتين، ٣٥/٢[
Artinya: Setiap udzur yang pantas dijadikan alasan meninggalkan shalat jum’at, maka pantas pula dijadikan alasan meninggalkan shalat jama’ah. Adapun tanah yang berlumpur, maka ada beberapa pendapat. Yang Shahih, tetap dianggap sebagai udzur shalat jum’at dan jama’ah; yang kedua, bukanlah udzur dari keduanya; yang ketiga, dianggap udzur hanya shalat jama’ah, tapi tidak shalat jum’at. Hal tersebut telah diceritakan oleh pemilik kitab al-Uddah, dan menurut mushannif juga telah difatwakan oleh para Imam Tabaristan.
Dari sini bisa diambil kesimpulan, bahwa keadaan seperti terjadinya bencana alam, badai cuaca dingin, hujan maupun wabah seperti Covid-19 yang menghalangi seseorang menuju masjid disunahkan untuk menyerukan Sallu fi Buyutikum, seperti yang telah dijelaskan dalam kitab Raudah al-Talibin.
وإذا كانت ليلة مطيرة أو ذات ريح وظلمة يستحب أن يقول إذا فرغ من أذانه ألا صلوا في رحالكم فإن قاله في أثناء الأذان بعد الحيعلة فلا بأس وكذا قاله الصيدلاني والبندنيجي والشاشي وغيرهم واستبعد إمام الحرمين قوله في أثناء الأذان وليس هو ببعيد بل هو الحق والسنة فقد نص عليه الشافعي رضي الله عنه في آخر أبواب الأذان في الأم وقد ثبت في الصحيحين عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال لمؤذنه في يوم مطير إذا قلت أشهد أن محمداً رسول الله فلا تقل حي على الصلاة وقل صلوا في بيوتكم وكأن الناس استنكروا ذلك فقال أتعجبون من ذا فقد فعل ذا من هوخير مني يعني النبي صلى الله عليه وسلم.
]روضة الطالبين وعمدة المفتين ج 1 ص 76[
Artinya: Ketika hujan di malam hari atau angin kencang dan gelapnya malam, maka di sunnahkan ketika selesai dari adzannya mengucapkan ala Shallu fi Rihalikum. Adapun ketika mengucapkannya dipertengahan adzan, yaitu setelah Hayya ala al-Shalah, maka tidak apa-apa. Imam Al-Haramain tidak menganggap pendapat yang memperbolahkan di pertengahan adzan dan tidak pula suatu yang jarang, bahkan itu adalah kebenaran dan dianggap sebagi sunnah. Dan sungguh Imam al-Syafi’i ra. telah mencatatnya di akhir bab pembahasan adzan dalam kitab al-umm. Dan sungguh telah di tetapkan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim.
Lalu bagaimana dengan kelompok yang menyerukan adzan Shallu ala al-Jihad tanpa adanya darurat?
Kasus ini bukan dipandang kondisi darurat atau tidak, melainkan lebih kepada bentuk ibadah. Adzan dan Iqamah merupakan bentuk ibadah yang harus mengikuti petunjuk dari nabi (Tauqifiyyah), maka merubah kalimat adzan atau iqamah dari sighat yang telah ditetapkan oleh syara’ hukumnya haram, karena termasuk melakukan perbuatan yang fasidah (rusak).
Adapun Shallu fi Buyutikum atau Shallu fi Rihalikum, meskipun ini terkesan jarang dan aneh, namun keduanya merupakan sighat yang telah ditetapkan oleh syara’ sekaligus mengikuti petunjuk Nabi Saw. seperti juga ungkapan Shallu fi Buyutikum dikumandangkan. Berbeda sekali dengan Hayya ala al-Jihad, maka hukumnya sudah dijelaskan di atas (haram).
الاصل في العبادات الحظر وفي العادات الاباحة الالفاظ الاخرى الاصل في العبادات التوقيف الاصل في العبادات البطلان الاصل في العادات الاباحة (التوضيح) لايكلف الانسان بعبادة الا بعد تشريعها من الله تعالى وبيان كيفيتها ولذالك يحظر القيام بعبادة الا بعد بيانها من الشرع فلا يشرع منها الا ما شرعه الله تعالى ورسوله ولذالك كانت العبادات توقيفية
]القواعد الفقهية وتطبيقاتها في المذاهب الاربعة ج 2 ص 769[
Artinya: Hukum asal ibadah adalah terlarang, dan hukum asal adat atau kebiasaan (non-ibadah) adalah boleh. Lafadz lainnya: Hukum asal ibadah adalah ditetapkan syariat, hukum asalnya ibadah adalah rusak (tidak sah), hukum asalnya adah adalah boleh. Penjelasan: tidaklah boleh seseorang menginstruksikan suatu ibadah kecuali telah di syariatkan oleh Allah dan dijelaskan tata caranya. Oleh karena itu dilarangan mendirikan suatu ibadah kecuali telah dijelaskan oleh syariat, dan tidaklah boleh mensyariatkan sesuatu kecuali Allah dan Rasul-Nya. Karena hal ini juga adanya al-Ibadah al-Tauqifiyyah.
ويسن في الليلة الممطرة أو المظلمة أو ذات الريح أن يقول بعد الاذان وهو الاولى أو بعد الحيعلتين ألا صلوا في رحالكم أي مرتين لما صح من الامر به وقضية كلامهم أنه لو قاله أي ألا صلوا عوضا أي عن الحيعلتين لم يصح أذانه وهو كذلك نهاية وشرح بافضل وكذا في المغني إلا وقضية كلامهم الخ فقال بدله فلو جعله بعد حيعلتين أو عوضا عنهما جاز اهـ قال الكردي قوله في الليلة ليس بقيد كما في شرح العباب بل النهار كذلك كبقية أعذار الجماعة اهـ وقال ع ش قوله م ر أو المظلمة المراد بها إظلام ينشأ عن نحو سحاب أما الظلمة المعتادة في أواخر الشهور لعدم طلوع القمر فيها فلا يستحب ذلك فيها اهـ وأقره الرشيدي. قوله: (كحي على خير العمل مطلقا) أي كما يكره هذا في الصبح وغيره. قوله: (فإن جعله) أي لفظ حي على خير العمل. قوله: (لم يصح أذانه) والقياس حينئذ حرمته لانه به صار متعاطيا لعبادة فاسدة ع ش. قوله: (حي على خير العمل) أي أقبلوا على خير العمل ع ش.
]حواشي الشرواني ج 1 ص 468[
Artinya: Ketika seserorang merubah Hayya ala al-Shalah menjadi Hayya ala Khayr al-‘Amal, maka tidaklah sah adzannya. Adapun Qiyas seperti ini adalah haram, dan orang tersebut telah melakukan ibadah yang fasid (rusak).
Wallahu A’lam.
Post a Comment for "“Hayya Alal Jihad” dan “Shallu fi Buyutikum”, Bolehkah? (Part II)"