Tradisi Membakar Dupa Menurut Kacamata Fikih dan Usul Fikih

Tradisi membakar dupa atau kemenyan tentu sudah banyak kita ketahui, terutama di tengah-tengah masyarakat. Biasanya, dupa dibakar ketika ada acara seperti majlis dzikir atau pada saat hari jum’at. Lalu, apakah hal tersebut dibenarkan oleh syari’at?
Dalam hal ini, menurut Imam Nawawi r.a hal tersebut merupakan Sunnah Rasulullah saw berdasarkan riwayat di bawah ini.
شرح النووي على مسلم (7/ 440(
كَانَ اِبْن عُمَر إِذَا اِسْتَجْمَرَ اِسْتَجْمَرَ بِالْأَلُوَّةِ غَيْر مُطَرَّاة ، أَوْ بِكَافُورٍ يَطْرَحهُ مَعَ الْأَلُوَّة . ثُمَّ قَالَ : هَكَذَا كَانَ يَسْتَجْمِر رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ(
Artinya: Ibnu Umar, ketika beliau beristijmar (membakar dupa) maka, beliau beristijmar dengan al-Uluwwah tapa dicampur dengan sesuatu atau beliau beristijmar dengan kafur yang dicampur dengan al-Uluwwah. Kemudian, Ibnu Umar berkata: Inilah cara istijmar Rasulullah saw.
Maksud dari Istijmar tersebut ialah membakar dupa, sebagaimana pernyataan beliau di bawah ini:
الِاسْتِجْمَار هُنَا اِسْتِعْمَال الطِّيب وَالتَّبَخُّر بِهِ مَأْخُوذ مِنْ الْمِجْمَر ، وَهُوَ الْبَخُور .
Artinya: Adapun yang dimaksud dengan “al-Istijmar” di sini ialah menggunakan wangi-wangian dan menggunakan dupa. Lafal “Istijmar” diambil dari kata “Mijmar” yang memiliki makna “Dupa atau Kemenyan”.
وَأَمَّا ( الْأَلُوَّة (فَقَالَ الْأَصْمَعِيّ وَأَبُو عُبَيْد وَسَائِر أَهْل اللُّغَة وَالْغَرِيب هِيَ الْعُود يَتَبَخَّر بِهِ . قَالَ الْأَصْمَعِيّ : أَرَاهَا فَارِسِيَّة مُعَرَّبَة ، وَهِيَ بِضَمِّ اللَّام وَفَتْح الْهَمْزَة وَضَمّهَا ، لُغَتَانِ مَشْهُورَتَانِ
Sementara lafal “al-Uluwwah” menurut Imam al-Ashmu’i, Abu Ubaid dan mayoritas ulama’ ahli bahasa, ia bermakna potongan kayu yang dibuat dupa. Menurut orang-orang Persia, lafal “al-Uluwwah” memiliki cara pengucapan, yakni lamnya dibaca dhammah sementara hamzahnya boleh dibaca fathah dan dibaca dhammah, pendapat ini yang masyhur.
Imam Nawawi pun menjelaskan bahwa memakai wangi-wangian disunnahkan bagi laki-laki sebagaiman disunnahkan pula untuk perempuan. Namun, bagi laki-laki disunnahkan agar memakai wangi-wangian yang tidak seberapa tampak bau dan warnanya (tidak menyengat).
Sementara untuk perempuan maka, makruh ketika keluar menuju masjid atau selainnya menggunakan wangi-wangian yang terlalu menyengat baunya.
Dan Sunnah muakkad hukumnya bagi laki-laki untuk menggunakan wangi-wangian (termasuk istijmar yang di jelaskan di atas) pada hari jum’at, hari raya dan pada saat menghadiri majlisnya kaum muslimin serta ketika menghadiri majlis dzikir dan ilmu, juga ketika hendak menggauli istri dan lain sebagainya.
وَيَتَأَكَّد اِسْتِحْبَابه لِلرِّجَالِ يَوْم الْجُمُعَة وَالْعِيد عِنْد حُضُور مَجَامِع الْمُسْلِمِينَ وَمَجَالِس الذِّكْر وَالْعِلْم وَعِنْد إِرَادَته مُعَاشَرَة زَوْجَته وَنَحْو ذَلِكَ . وَاللَّهُ أَعْلَم .
Artinya: Dan sunnah muakkad hukumnya bagi laki-laki untuk menggunakan
wangi-wangian (termasuk istijmar yang di jelaskan di atas) pada hari jum’at,
hari raya dan pada saat menghadiri majlisnya kaum muslimin serta ketika
menghadiri majlis dzikir dan ilmu, juga ketika hendak menggauli istri dan lain
sebagainya”
Lebih dari itu, jika ditinjau dari segi Ushul Fiqih, maka tradisi atau al-Urf dibagi menjadi dua; pertama, tradisi yang Shahih. Kedua, tradisi yang Fasid (rusak). Sebagaimana pernyataan Syaikh Abdul Wahab Khalaf:
العرف نوعان :عرف صحيح وعرف فاسد
Tradisi yang Shahih (benar) adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil syar’at, tidak menghalalkan perkara yang haram serta tidak menggugurkan perkara yang wajib.
Sedangkan, tradisi yang rusak ialah tradisi masyarakat yang bertentangan dengan dalil syar’i, menghalalkan yang haram serta menggugurkan yang wajib, seperti kemungkaran-kemungkaran pada acara maulid pada zaman dulu misal, sambil wanita yang ikut sambil joget, sebagaiman yang dijelaskan oleh Syaikh Fathul Wahab al-Khalaf dalam kitab Ilm al-Ushul al-Fiqih-nya.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa membakar dupa merupakan sunnah, sehingga, tradisi membakar dupa dalam masyarakat ketika ada acara atau selainnya maka, hal tersebut dibenarkan dan merupakan tradisi yang shahih sebab merupakan Sunnah Rasul dan tidak bertentangan dengan Syari’at.
Wallahu A'lam.
Post a Comment for "Tradisi Membakar Dupa Menurut Kacamata Fikih dan Usul Fikih"