Kisah Perbedaan Pendapat di Kalangan Sahabat Pada Masa Rasulullah
Ketika muncul suatu pemasalahan, antara sahabat satu dengan yang lainnya berbeda pendapat, sebab khilafiyyah atau perbedaan pendapat maka, hal tersebut dianggap lumrah dan merupakan sunnatullah (tidak bisa dihindari). Bahkan al-Qur’an sendiri menyebutkan.
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia yang satu, tetapi senantiasa mereka berselisih pendapat.” (Q.S. al-Hud [12]: 118)
Sedangkan Ikhtilaf atau perbedaan juga dibagi dua yaitu pertama, perbedaan dan perselidihan hati (Ikhtilaf al-Qulub) ini yang perlu kita hindari. Kedua, perbedaan dan perselisihan dalan hal pemikiran dan pemahaman (Ikhtilaf al-‘Uqul wa al-Afkar).
Jika perbedaan-perbedaan tersebut terjadi dalam masalah ushul (prinsip) maka dikategorikan sebagai tafarruq atau iftiraq (perpecahan), oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir, sedangkan jika dalam masalah furu’ (cabang) maka dikategorikan sebagai Ikhtilaf al-Tanawwu’ (perbedaan keragaman), oleh kerena itu diterima dan di tolerir selama tidak sampai pada perbedaan dan perselisihan hati.
Sehingga perbedaan tidak boleh dijadikan sebagai sabab timbulnya perpecahan dan permusuhan. Tidak boleh kita menyalahkan pendapat orang lain sedangkan mereka punya dalil, dengan dalil itu mereka berijtihad, jika ijtihad mereka benar maka mendapat dua pahala, jika salah maka mendapat satu pahala.
Perbedaan pendapat juga pernah terjadi dikalangan sahabat. Pada suatu ketika orang Badui berkata kepada istrinya, “Kamu kutalak sampai hin (Waktu tertentu)”. Setelah mengucapkan kalimat itu Badui itu menyesal dan menginginkan supaya kembali kepada istrinya.
Awalnya Ia pergi menemui Rasulullah Saw. Namun ia tidak menemuinya. Maka ia pun pergi ke Abu Bakr r.a. dan menanyakan perihal kalimat “hin”. Abu Bakr r.a. menjawab “Diharamkan atasmu akan istrimu sampai mati dan tidak halal lagi ia bagimu”.
Si Badui itupun meninggalkan Sayyiduna Abu Bakr dan pergi menuju Umar bin al-Khattab r.a. untuk menanyakan pertanyaan yang sama. Umar bin al-Khattab menjawab “Diharamkan istrimu atasmu selama 40 tahun”.
Ia pun pergi meninggalkan Umar bin al-Khattab dan pergi menemui Utsman bin 'Affan r.a. lalu, menanyakannya tentang kejadian tadi. Ia pun menjawab “Diharamkan istrimu atasmu selama satu tahun”.
Kemudian, ia juga meninggalkan Utsman bin ‘Affan dan menemui Ali bin Abi Thalib untuk menanyakan pertanyaan yang sama dan Ia (Ali bin Abi Thalib) menjawab “Diharamkan istrimu atasmu selama satu malam”. Akhirnya Ia menemui Rasulullah Saw dan mendapati Beliau berada disebuah kebun kemudian ia menceritakan apa yang terjadi sekaligus pendapat-pendapat para shahabat mengenai “hin”.
Rasulullah menyuruhnya si Badui duduk, lalu mengirimkan seseorang untuk memanggil keempat sahabatnya. Manakala mereka datang, Beliau menanyai mereka semua. “Mengapa wahai Abu Bakr engkau haramkan atasnya untuk kempali kepada istrinya sampai di hari kematiannya” Beliau menjawab, “Wahai Rasulallah, Allah berfirman:
فَآمَنُوا فَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
“Sehingga mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu tertentu.” (Q.S. Ash-Shaffat [23]: 148)
Maksud waktu tertentu (hin) disini yaitu sampai di hari wafat” kata Abu Bakar.
Rasulullah saw pun diam, kemudian Beliau bertanya “Dan engkau wahai Umar?". Umar menjawab dari al-Qur'an, “Ya Rasulullah. Di awal surah Al-Insan Allah berfirman:
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا
(Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?). (Q.S. Al-Insan [29]: 1)
Kalimat “hin” di sini bahwasanya Adam tinggal didalam surga selama 40 tahun sebelum ia turun ke bumi” Ujar Umar.
Rasulullah Saw pun diam. Dan bertanya “Engkau wahai Utsman mengapa engkau haramkan istrinya atasnya selama setahun?”
Utsman menjawab, “Dari al-Qur'an Ya Rasulullah, Allah berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25)
(Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, [24] (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat [25]) (Q.S. Ibrahim [13]: 25)
Kalimat “hin” disini kebanyakan buah itu berbuah setiap tahun sekali” Rasulullah Saw. juga diam.
“Engkau wahai Ali?.” Ali menyahut dari Al-Qur'an “Ya Rasulullah. Allah berfirman.
وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِينَ تُظْهِرُونَ
(Maka bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pada pagi hari yakni waktu subuh).” (Q.S. Ar-Rum [21]: 18)
Kalimat hin disini ialah satu malam.” Kata Ali.
Gembiralah Nabi Saw. atas shahabat-shahabat Beliau. Dan diriwayatkan jawaban para shahabat tadi sebab dari sabda Nabi “Shahabatku ini seperti bintang bintang, yang manapun yang kamu ikuti kamu mendapat petunjuk”.
Rasulullah Saw. bersabda: “Ambillah dengan pendapat Ali bin Abi Thalib. Karena ialah yang termudah untukmu.” Semuanya benar, disamping itu pula Rasulullah Saw. mengajarkan kita untuk mengambil pendapat yang mudah. [LH]
Allah Knows Best...
Oleh: El-Haq A.
Oalah iku ta
ReplyDelete