Perintah Menginfakkan Harta dalam Al-Qur’an
Menginfakkan sebagian harta merupakan dasar ajaran dalam agama Islam. Namun, kerap kali seseorang yang hendak melakukannya merasa keberatan karena khawatir dengan beberapa hal semisal takut hartanya akan habis dan lain sebagainya. Padahal, menginfakkan harta atau sedekah tidak harus banyak-banyak, cukup menyesuaikan dengan kemampuan individu masing-masing.
Di sisi lain, ada juga orang-orang yang merasa keberatan karena merasa dirinya telah memiliki harta yang berlimpah. Harta banyak tersebut yang menjadikan mereka menutup diri untuk bergaul dengan orang-orang yang tidak selevel. Sehingga, mereka enggan untuk mengeluarkan harta dan terlalu sibuk dengan pekerjaannya, atau mereka menyisihkan sebagian hartanya kepada orang-orang yang tidak mampu, namun harta tersebut tidak layak untuk diinfakkan kepada orang lain.
Oleh sebab itu, dalam kitab suci Al-Qur’an secara gamblang dijelaskan tentang spesifikasi perintah menginfakkan harta dengan benar dan tentunya untuk menegakkan syi’ar-syi’ar agama Islam yang mulai pudar di era modern ini.
Perintah menginfakkan harta sudah termaktub dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S al-Baqarah [2]: 267.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267)
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya, melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.” (Q.S al-Baqarah [2]: 267)
Menurut Ibnu Katsir, maksud kata “infaq” di sini adalah bersedekah. Menurut Ibnu Abbas maksud dari harta yang baik di sini adalah, harta yang Allah berikan kepada manusia dengan cara berusaha (bekerja). Secara eksplisit, Imam Mujahid menafsirinya dengan harta yang diperoleh dari berdagang karena berdagang lebih mudah bagi manusia. (Ibnu Katsir, 2000: 4666)
Bentuk materi yang dimaksud di sini dapat berupa harta, perak dan buah-buahan serta tumbuh-tumbuhan yang hasilnya dari bumi. Adapun tujuan diperintahkannya manusia untuk berinfak dengan harta yang baik dan dilarang untuk bersadakah menggunakan harta yang jelek adalah karena Allah swt mencintai hal-hal yang baik sehingga Ia tidak menerima sesuatu kecuali sesuatu tersebut baik.
Pendapat yang lain dari ulama’ nusantara, Kyai Mustafa Bisri dalam kitab “al-Ibriz” juga memberikan interpretasi yang berbeda tentang makna infaq pada ayat di atas, beliau menafsiri kata “infaq” dengan kata “zakat”. Beliau menafsiri ayat di atas dengan tafsiran berikut:
“Wahai orang-orang mukmin, keluarkanlah dari kalian zakat yang dihasilkan dari pekerjaan yang baik dan juga dari hasil bumi, janganlah kalian menginfakkan harta yang jelek. Yakni harta yang lebih dari kalian semua”
Mengenai harta yang baik, juga telah dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a bahwa Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا أَبَانُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ الصَّبَّاحِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَخْلَاقَكُمْ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ وَلَا يُعْطِي الدِّينَ إِلَّا لِمَنْ أَحَبَّ فَمَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ الدِّينَ فَقَدْ أَحَبَّهُ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُسْلِمُ عَبْدٌ حَتَّى يَسْلَمَ قَلْبُهُ وَلِسَانُهُ وَلَا يُؤْمِنُ حَتَّى يَأْمَنَ جَارُهُ بَوَائِقَهُ قَالُوا وَمَا بَوَائِقُهُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ غَشْمُهُ وَظُلْمُهُ وَلَا يَكْسِبُ عَبْدٌ مَالًا مِنْ حَرَامٍ فَيُنْفِقَ مِنْهُ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيهِ وَلَا يَتَصَدَّقُ بِهِ فَيُقْبَلَ مِنْهُ وَلَا يَتْرُكُ خَلْفَ ظَهْرِهِ إِلَّا كَانَ زَادَهُ إِلَى النَّارِ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَمْحُو السَّيِّئَ بِالسَّيِّئِ وَلَكِنْ يَمْحُو السَّيِّئَ بِالْحَسَنِ إِنَّ الْخَبِيثَ لَا يَمْحُو الْخَبِيث
“Sesungguhnya Allah membagikan Akhlak diantara kalian sebagaimana Dia membagikan rezeki diantara kalian. Sesungguhnya Allah swt memberikan dunia kepada siapa yang Dia cintai maupun tidak, sedangkan Dia memberikan agama hanya kepada yang Ia cintai, barangsiapa yang diberi agama oleh Allah, maka Dia telah mencintainya. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seorang hamba tidak akan selamat hingga hati dan lisannya selamat dan tidak beriman seseorang hingga tetangganya merasa aman dari kejahatannya.” Mereka bertanya; “Apakah kejahatannya itu wahai Nabiyullah?” Beliau Menjawab: “Menganiaya dan mendzaliminya. Dan tidaklah seorang hamba mencari harta yang haram lalu membelanjakannya lantas ia diberkahinya dan tidaklah bersedekah lantas diterima darinya dan tidaklah ia meninggalkan di belakang punggugnya melainkan akan menambahnya di neraka. Sesungguhnya Allah swt tidak menghapus keburukan akan tetapi menghapus keburukan dengan kebaikan, sesunguhnya keharaman tidak dapat menghilangkan dengan keharaman pula.” (H.R Ahmad)
Disebutkan juga dalam salah satu riwayat bahwa seseorang yang mengeluarkan hartanya maka, sesungguhnya ia telah berinfak untuk dirinya sendiri sebab Allah swt yang akan memberikan balasan untuknya, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi: “Allah swt berfirman: Berinfaklah, wahai anak Adam, niscaya aku akan memberi nafkah kepadamu.”
Dalam kitab Bahjah al-Nadzirin yang merupakan syarah kitab Riyad al-Salihin dijelaskan bahwa hadis tersebut memiliki beberapa tujuan pokok diantaranya adalah:
1. Perintah untuk menginfakkan harta di jalan Allah
2. Infak menjadi sebab diluaskannya rezeki
3. Pemberian Allah swt kepada hamba-Nya sesuai dengan pemberian yang diberikan seorang hamba kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
4. Perbendaharaan Allah swt itu selalu penuh dan tidak bakal pernah habis dan Allah, Rab yang tidak pernah menolak memberi karena takut miskin. (Syaikh salim, 2005: 418)
Demikian Allah swt memberikan perintah kepada hamba-Nya yang berupa menginfakkan atau memberikan sebagian hartanya kepada orang lain secara tegas dalam Al-Qur’an. Suatu hal yang perlu diketahui bahwa di sisi lain Allah swt juga memberikan spesifikasi mengenai harta yang hendak diinfakkan yakni harus dari pekerjaan yang baik sebab apabila harta yang diinfakkan merupakan harta haram atau syubhat maka tidak akan diterima oleh Allah swt sebagaimana disebutkan di atas bahwa Allah swt tidak akan menerima sesuatu kecuali dari yang baik atau bagus.
Suatu problem dalam menginfakkan harta kepada orang lain tatkala antara pikiran (akal) dan hati tidak sefrekuensi. Misalnya, ketika ada seseorang yang bertemu dengan pengemis tua kemudian, timbul dalam hatinya sifat dermawan bahwa ia ingin memberikan sebagian hartanya pada pengemis tua tersebut akan tetapi ketika keinginannya sudah sampai di pikiran kita maka, keinginan tersebut diolah apakah ia akan memberikan hartanya atau tidak karena memandang beberapa hal entah tentang pengemis tadi atau memang dirinya sendiri yang tidak suka memberi, hingga pada akhirnya, ia tidak memberikan sebagian harta kepada pengemis tadi. Masalah seperti ini sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat.
Problem ini sebenarnya juga sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa hal tersebut merupakan godaan syaitan. Sebagaimana dalam Q.S al-Baqarah ayat 268.
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (268)
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 268)
Hamka dalam tafsirnya “al-Azhar” menyebutkan bahwa tujuan ayat ini adalah mempertunjukkan perjuangan batin seseorang hamba yang diperintah untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk diinfakkan kepada orang lain di jalan Allah swt. Beliau melanjutkan bahwa setiap seorang hamba hendak menginfakkan hartanya, syaitan selalu bercampur tangan: “Jangan banyak-banyak nanti habis, apalagi yang akan tinggal di tanganmu! Berikan saja yang buruk-buruk, tentu akan diterimanya juga, dan yang baik-baik simpan untuk dirimu sendiri. Jangan banyak-banyak memberi kalau tidak akan disebut-disebut oleh orang.” Bahkan tatkala ada seseorang yang meminta-minta (pengemis) kelihatan datang ke rumah kita, maka syaitan akan berkata atau menggoda: “Tuh datang lagi dia, minta sokongan lagi, minta derma lagi. Lari saja ke dalam, masuk saja ke kamar, dan suruh pelayan mengatakan pada orang itu bahwa tuan rumah masih sakit atau sedang keluar kota!” Tentunya, seseorang yang beriman maka, ia akan sadar akan godaan tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hamka seakan-akan ia berkata dalam hatinya: “Aku tidak akan memperturutkan tipudayamu hai syaitan! Aku orang beriman, Tuhanku telah menjanjikan bahwa jika aku seorang pemurah, Tuhanpun Maha Pemurah juga untuk mengampuni dosa-dosaku dan Tuhan akan memberikanku karunia yang berlipat ganda.”
Menurut Hamka hal ini memang sangat sulit untuk dijalankan akan tetapi akan mudah apabila sudah menjadi kebiasaan dengan cara berusaha sekuat tenaga untuk menolak tipu daya syaitan sehingga, imannya menang dan menjadi pemurah, dermawan, dan nantinya akan menjadi perangai dan adat (kebiasaan). Dengan begitu naiklah derajat keimanan seseorang tersebut. (Hamka, 1989: 655)
Post a Comment for "Perintah Menginfakkan Harta dalam Al-Qur’an"