Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Senja yang Tenggelam, Tak Lagi Kembali Datang

 

Senja yang Tenggelam, Tak Lagi Kembali Datang
sumber gambar: pixabay.com

Bagiku, pertemuanku dengan Wulan adalah pertemuan yang sangat indah dan terkenang selamanya. Seperti biasa, aku sering menyendiri di kampus jika teman-teman ingin bertemu denganku, mereka akan menemuiku di taman kampus, duduk sembari membaca buku dan menyeruput kopi atau es yang ku beli. Sore itu, ketika bel istirahat berdering aku pun pergi ke taman dan membaca buku ekonomi, tak lama kemudian seorang mahasiswi yang berjalan di depanku melihat buku yang ku baca. Tatkala ku tatap wajahnya, ia seakan antusias melihat buku ekonomi yang ku pegang. Lantas berkata, “Mas, boleh saya pinjam bukunya? Maaf saya butuh itu untuk referensi!” Ucap Wulan pada waktu itu.

“Iya boleh, silahkan!” Sambil kuulurkan buku kepadanya.

“Maaf sebelumnya mas, namanya siapa? Biar nanti tidak bingung waktu mau ngembalikan, ohya, dan juga kelasnya mas?”

“Panggil saja Bintang, kelasku ada di lantai empat, pojok kanan.”

“Terimakasih pinjamannya mas, insya Allah tiga hari atau lima hari lagi saya kembalikan.”

“Nyantai saja kok!” Ujarku kepadanya hingga kemudian ia mengangguk tersenyum dan pergi berjalan begitu anggun.

Semenjak itu, aku terus memikirkannya, bukan karena apa-apa melainkan karena tingkahnya yang seolah-olah sudah akrab denganku sejak lama. Kesederhanaan yang ada pada dirinya membuatku tertegun, berbeda dengan yang lain. Namun, ia kelihatan berwibawa dan indah tuk dipandang bak rembulan di malam purnama. Semenjak itu juga, aku sering bertanya tentangnya, dari mana dia berasal, apakah seorang putri yang berasal dari kayangan atau bidadari yang turun ke bumi dan diutus kepadaku. Sungguh betapa indah dan tentram tatkala dipandang.

Sampai pada hari ke lima, Wulan mengembalikan buku yang ia pinjam dan ingin mentraktirku pergi ke kafe karena sudah meminjam buku ekonomiku, “Mas, jam istirahat nanti saya traktir ke kafe ya!” Ucap Wulan kepadaku dan ia pergi ke kelasnya sebelum ku jawab. Di kafe, banyak yang ia ceritakan, mulai keluarganya, kehidupannya dan juga pendidikan yang dia tempuh sebelum di Universitas 17 Agustus Lamongan ini. Pada saat inilah awal sesuatu itu datang. Entah seperti apa, aku hanya merasa nyaman bersamanya.

Hari-hari berikutnya, aku selalu bertemu Wulan di kampus, ia dapat merubah kehidupanku yang suka menyendiri, belajar bersama dan kadang kala jalan-jalan ke suatu tempat yang indah. Tatkala ia sedang sedih, bingung atau banyak tugas yang belum dia kerjakan, ku hibur dia sembari menngodanya.

 “Wulan, kamu tau nggak, panda apa yang paling indah dilihat?”

“Panda? Oh ya, hewan panda yang warna bulunya warna warni.” Jawab Wulan.

“Hahaha, ada-ada aja kamu, bukan, that’s wrong!”

“Lalu?” Ujar Wulan.

“Panda-Ngin kamu, Wulan!”

“Dasar cowok, gombalz!”

Kita tidak pernah jadian atau saling menyatakan, “I love You dan I love You too!” satu sama lain. Walaupun toh aku sangat mencintai dan menyayanginya. Bagiku, selalu ada di sampingnya itu sudah cukup untuk mencintainya karena cinta bukan hanya sekedar kata-kata tanpa makna serta bukti dan aku juga merasa kalau Wulan nyaman bersamaku.

Hal yang paling indah bersamanya adalah tatkala aku dan Wulan pergi ke kafe dekat pantai di sore hari. Kafe itu sangat dekat dengan pantai, kami berduapun duduk, meminum es moba yang kami pesan sembari menikmati pemandangan senja yang lembayungnya sangat indah. Kami berdua pergi ke tempat itu tiga kali dalam seminggu atau bahkan hampir setiap hari. Bagiku, bersamanya bukanlah hal yang sia-sia, ku bantu di saat ia memiliki tugas yang berimbun dan tak kunjung selesai, sembari bercanda, tertawa dan melihat senja yang indah merona.

Setiap kali usai dari kafe, ku antarkan Wulan ke rumahnya dan sebelum tidur, aku pun terus berharap esok di kampus dan hari-hari berikutnya bisa bertemu lagi dengannya, tak ada lagi yang ku harap selain itu.

Namun semua itu tidak berlangsung lama, satu tahun aku bersamanya dan sikapnya mulai berubah. Wulan yang dulu murah senyum kini datar tatkala memandangku, ia terus menjauh dan seakan menganggapku orang asing, sangat berbeda dengan Wulan yang dulu. Entah apa alasan yang membuat ia seperti itu kepadaku. Aku terus bertanya-tanya tentangnya kepada semua teman yang ia kenal tetapi semua jawaban tidak menunjukkan kepastian.

Di saat itulah, aku mulai menyendiri dan meratapi nasib yang seolah-olah mengutuk diri ini. Senja-senja yang biasanya ku pandang bersama Wulan, kini, ia tinggal kenangan dan tak pernah kembali lagi seperti dulu ketika ia masih berada di sandingku. Senja yang ku pandang terakhir kali bersama Wulan, tepat pada hari sabtu sore seusai kuliah dari kampus dan sesusai itu pula, dia selalu menghindar dariku. Aku tidak bisa berkata apa-apa tentangnya, hanya bisa menerima karena porsiku memperjuangkannya sudah selesai, dan sisanya kini ia pergi dan meninggalkanku.

Senja-senja yang tenggelam itu takkan lagi kembali datang. Namun, kehidupan harus terus berlanjut. Entahlah sampai kapan aku merasakan kesakitan karena ditinggal pergi olehnya. Aku hanya bisa menahan, menelan dan sebaik mungkin tersenyum di saat keadaan mulai meresahkan, yah, karena kehidupan harus terus berlanjut…

Post a Comment for "Senja yang Tenggelam, Tak Lagi Kembali Datang"