Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tafsir Q.S al-An’am 107-108: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim

Tafsir Q.S al-An’am 107-108: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim

Indonesia merupakan negara yang penduduknya memiliki latar belakang; ras, suku dan agama yang dapat mempengaruhi tingkah laku serta pola pikir setiap individu. Dari segi agama, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pemerintah telah mengakui adanya enam agama sebagai agama resmi bagi penduduk Indonesia yaitu, Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.

Namun, karena adanya keberagaman tersebut tidak jarang dari kita memaki atau melecehkan agama lain. Sebenarnya, fenomena sosial memaki penganut agam lain dan sesembahannya pernah terjadi pada masa Rasulullah saw hingga berlanjut pada zaman modern ini dengan motif yang berbeda-beda. Oleh karenanya dalam hal ini penulis akan membahas larangan melecehkan penganut agama lain perspektif Al-Qur’an.

Baca Juga: Prinsip Hidup Ala Syaikh Abdul Qadir R.A

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaki adalah mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas atau kurang adat untuk menyatakan kemarahan dan kejengkelan. Dalam bahasa Arab memaki adalah “al-Sukhriyah” yang memiliki makna mengejek, mencemooh, atau memperolok. Ibnu Mandzur dalam kitab “Lisan al-Arab” mengatakan bahwa al-Sukhriyah bermakna al-Tadzlil (merendahkan).

Sementara secara istilah “al-Sukhriyah” adalah merendahkan dan menyebutkan aib serta beberapa kekurangan yang disertai pula dengan tertawa terkadang juga disertai dengan perbuatan atau isyarah terhadap orang yang dimaki baik tentang perbuatan atau bentuknya. (Al-Maraghi, 1946: 132). Kata lain dari “al-Sukhriyah” yaitu “al-Sabbu” dan “al-Istihza’

Selain Allah swt melarang terhadap orang-orang yang beriman untuk mencaci-maki satu sama lain sebagaimana firmannya dalam Q.S. a-Hujurat: 11. Maka, Allah swt juga melarang kita sebagai orang mukmin untuk memaki sesembahan nom-Muslim dan perintah untuk bersikap lembut terhadap mereka sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-An’am ayat 107-108 yang akan dijelaskan di bawah ini.

Tafsir Q.S. al-An’am: 107-108

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكُوا وَمَا جَعَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ (107)

“Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan-Nya. Dan kami tidak menjadikan engkau penjaga mereka; dan engkau bukan pula pemelihara mereka.” (Q.S. al-An’am: 107)

Menurut Imam al-Qurtubi maksud dari “Walau Sya’allahu ma Asyraqu” yakni kemusyrikan adalah kehendak Allah swt. Semua ada digenggaman Allah swt, hal ini tampak dengan potongan ayat berikutnya yaitu Allah swt berkata kepada Nabi Muhammad “Dan Kami tidak menjadikan engkau penjaga mereka” maksudnya ialah Nabi Muhammad swt tidak dapat menjaga mereka dari siksa Allah swt.

Kemudian maksud Rasulullah saw bukanlah pemelihara mereka yakni orang yang menegakkan perkara-perkara baik dari segi kebaikan agama dan dunia mereka kecuali Rasulullah saw memperlakukan orang-orang musyrik tersebut dengan lemah-lembut. Dalam hal ini tampak kekuasaan dan kehendak Allah swt sementara Rasulullah saw adalah sebagai Muballigh (orang yang menyampaikan). Ayat ini turun sebelum Rasul diperintah untuk berperang. (Al-Qurtubi, 1964: 60)

Jadi, dari tafsiran di atas dapat kita pahami bahwa masalah kemusyrikan Allah lah yang mengatur, Ia adalah dzat Yang Maha Kuasa sehingga kita sebagai orang Islam tentu tidak usah repot-repot untuk mengurusi masalah agama mereka namun, yang terpenting ialah kita harus bersikap lema-lembut terhadap merek.

Adapun dalil yang jelas mengenai larangan memaki sesembahan agama lain ialah pada Q.S. al-An’am: 108.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (108)

 “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikian Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. al-An’am:108).

Sabab al-Nuzul ayat tersebut ialah sebagaimana yang telah diceritakan oleh Abdur Razaq dari Ma’mar dari Qatadah bahwa orang-orang muslim pada waktu itu menghina berhala-berhala orang kafir yang kemudian orang-orang kafir tersebut juga membalas dengan menghina Allah swt sehingga, turunlah ayat tersebut (Wahbah Zuhaili, 2001: 597).

Syaikh Wahbah Zuhaili juga menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad saw saja tetapi, juga untuk kaum muslimin. Melalui ayat tadi, Allah swt memberikan larangan agar tidak mencaci ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) kaum musyrikin walaupun cacian tersebut mengandung kemaslahatan (kebaikan) sebab, mereka juga akan mencaci-maki kembali Tuhan kaum muslimin (Allah) yang Maha Agung.

Oleh karenanya Syaikh Wabah Zuhaili memberikan peringatan apabila suatu keta’atan atau kemaslahatan dapat menimbulkan mafsadah yang lebih besar dari maslahahnya maka, hal tersebut wajib ditinggalkan.

Dalam literatur Ushul Fikih hal ini dikenal dengan istilah “Saddu al-Dzara’iاsecara etimologi, kata “al-Saddu” memiliki arti menutup celah dan kata “al-Dzari‘ah” ialah memiliki arti perantara atau wasilah terhadap sesuatu. Sementara secara terminologi, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab “Mawsu‘ah al-Fiqhiyah” yaitu:

الأشياء التي ظاهرها الإباحة ويتوصل بها إلى فعل محظور

“Perkara yang semula hukumnya mubah (mengandung kemaslahatan) namun menuju pada suatu kemudharatan”

Jadi, dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa “Saddu al-Dzara’i‘” merupakan metode penggalian hukum dalam Islam dengan cara mencegah, melarang atau menutup wasilah suatu pekerjaan yang awalnya diperbolehkan oleh syari’at karena di sisi lain dapat menimbulkan terjadinya kerusakan atau sesuatu yang dilarang.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa selain Allah melarang memaki sesame muslim, Allah swt juga melarang kita sebagai kaum muslim untuk memaki sesembahan kaum non-muslim karena dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar yaitu mereka (orang-orang kafir) juga akan kembali mencaci-maki Tuhan agama Islam (Allah swt) dan melalui penafsiran pada Q.S. al-An’am: 107 di atas maka, kita diperintah Allah swt untuk tidak terlalu ikut campur urusan agama mereka namun, kita tetap berbuat baik kepada merela (non-muslim). 

Sehingga dengan demikian walaupun suatu negara seperti Indonesia yang memiliki berbagai macam ras, suku dan agama maka, jika tidak saling memaki satu sama lain, insya Allah akan dijaga oleh Allah dari perpecahan, sehingga dapat hidup rukun antar umat beragama.

 

 

 

 

Post a Comment for "Tafsir Q.S al-An’am 107-108: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim"